Test Footer 2

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Jumat, 02 Desember 2011

Amalan-Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit Dan Kekeliruan Seputar Mayit dan Kubur

Amalan-Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit

Setiap kali kami memunculkan masalah menghadiahkan pahala untuk mayit, banyak di antara pengunjung Rumaysho.com yang memberi komentar negatif dan tanda tidak setuju. Oleh karena itu, kami sengaja membuat tulisan tersendiri yang ingin membahas lebih panjang lebar masalah ini yang rujukannya tentu saja Al Qur'an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman generasi terbaik dari umat Islam. Semoga Allah memudahkan kaum muslimin untuk memahami tulisan ini. Hanya Allah yang memberi taufik.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).

Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]

Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.

Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.

Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit

Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".” (QS. Al Hasyr: 10)

Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]

Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”[3]

Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”

Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ

Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.

Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]

Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit

Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].

Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

اقْضِهِ عَنْهَا

Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]

Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”[9]

Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.

Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]

Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit

Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ - رضى الله عنه - تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]

Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”

Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,

خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.

Ibnu Mas’ud mengatakan,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ

Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf  mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.

Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.

Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji,atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-[13]

Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.

Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya.

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]

Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ

Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).

Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]

Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).

Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]

Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H

[1] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H
[2] Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851.
[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.
[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619
[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2, Mawqi’ Al Islam
[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525
[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638
[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Muslim no. 1631
[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H
[12] HR. Bukhari no. 2756
[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.
[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211, Asy Syamilah


Kekeliruan Seputar Mayit dan Kubur
At Tauhid edisi VI/18. Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni[1] dalam Majmu’ Al Fatawa-nya mengatakan, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

[Amalan yang Bermanfaat bagi Mayit]

Adapun sedekah untuk mayit, itu akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Terdapat dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini. Semacam perkataan Sa’ad, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku tiba-tiba meninggal dunia. Seandainya beliau berbicara, tentu beliau akan menyedekahkan hartanya. Apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah untuknya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya bermanfaat.”
Begitu pula menghajikan si mayit, menyembelih kurban atas namanya, memerdekakan budak atas namanya, mendoakan dan memintakan ampun untuknya, ini semua bermanfaat bagi mayit dan tidak ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini.

[Puasa, Shalat dan Bacaan Al Qur’an untuk Mayit]

Adapun mempuasakan si mayit, shalat sunnah diniatkan untuknya dan membacakan Al Qur’an untuknya, permasalahan ini terdapat perselisihan di antara para ulama. Pendapat pertama: amalan-amalan tadi bermanfaat untuk mayit. Inilah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Syafi’iyah dan selainnya. Pendapat kedua: pahala amalan tersebut tidak sampai kepada mayit. Inilah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i.

[Meminta Upah dari Bacaan Al Qur’an]

Adapun meminta upah dan memberi hadiah karena membaca Al Qur’an untuk si mayit, maka ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Para ulama masih berselisih pendapat tentang bolehnya mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an, mengumandangkan adzan, menjadi imam dan menghajikan orang lain karena orang yang memberi upah itu mendapatkan manfaat.

Pendapat pertama: Ada ulama yang mengatakan bolehnya hal ini sebagaimana pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i.

Pendapat kedua: Namun ada ulama yang mengatakan bahwa hal ini tidak dibenarkan karena amal yang dikhususkan untuk ketaatan kepada Allah hanya diperuntukkan bagi orang muslim, bukan orang kafir. Oleh karena itu, amalan seperti ini tidaklah boleh dilakukan melainkan untuk mengharap wajah Allah dalam rangka melakukan ketaatan kepada-Nya. Jika amalan tersebut dilakukan untuk mendapatkan kemewahan dunia, maka amalan tersebut tidaklah akan berbuah pahala -berdasarkan kesepakatan para ulama-. Sesungguhnya Allah hanyalah menerima amalan yang dilakukan untuk mengharap wajah-Nya, bukan untuk mencari kemewahan dunia.

Pendapat ketiga: Ulama lainnya juga mengatakan bahwa boleh mengambil upah, jika orang tersebut adalah orang fakir dan bukan orang yang mampu (kaya). Inilah pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Mereka menyamakan hal ini sebagaimana Allah mengizinkan bagi wali yatim yang miskin untuk memakan harta anak yatim, namun tidak diperbolehkan untuk wali yatim yang kaya. Pendapat ketiga ini adalah pendapat yang lebih kuat dari pendapat lainnya. Oleh karena itu, apabila orang yang miskin memelihara anak yatim dengan diniatkan karena Allah, lalu dia mengambil upah untuk memenuhi kebutuhannya dan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka Allah akan memberikan dia pahala sesuai dengan niatnya. Jika dia memakan harta tadi, dia berarti telah memakan makanan yang thoyib dan amalan yang dia lakukan adalah amalan sholeh.

Adapun jika dia membaca Al Quran dalam rangka mendapatkan kemewahan dunia, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalannya tadi. Jika amalannya sendiri tidak bernilai pahala (karena tidak ikhlash), maka pahala tersebut sangat tidak mungkin sampai pada mayit. Karena yang sampai pada mayit adalah pahala amalan dan bukan amalan itu sendiri. Malah jika hartanya tadi disedekahkan kepada orang yang membutuhkan dan diniatkan untuk mayit, itu akan lebih bermanfaat dan akan sampai pada mayit. Jika sedekah tadi diserahkan kepada orang yang membantu dalam qira’ah Al Qur’an, pembelajaran Al Qur’an, maka itu lebih baik dan sangat bagus. Alasannya, menolong kaum muslimin dengan jiwa dan harta mereka untuk mengajari dan mempelajari Al Qur’an adalah amalan yang paling utama.

[Keluarga Mayit Membuatkan Makanan untuk Orang Lain]

Adapun keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan, “Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”

Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan, “Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.

[Membaca Al Qur’an di Sisi Kubur]

Adapun membaca Al Qur’an terus menerus di sisi kubur, maka ini tidaklah pernah dikenal oleh para ulama salaf.
Para ulama pun berselisih pendapat mengenai masalah membaca Al Qur’an di kuburan. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad (menurut kebanyakan pendapat dari beliau) melarang hal ini. Namun, Imam Ahmad memberikan keringanan dalam masalah ini dalam pendapat beliau yang terakhir. Yang menjadi dasar Imam Ahmad dari pendapatnya yang terakhir adalah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar pernah mewasiatkan agar dibacakan bagian awal dan akhir surat Al Baqarah ketika pemakamannya. Begitu pula ada riwayat dari beberapa kaum Anshor bahwasanya Ibnu ‘Umar pernah mewasiatkan agar membaca surat Al Baqarah di kuburnya (sebelum pemakaman). Namun ingat, ini semua dilakukan sebelum pemakaman. Adapun pembacaan Al Qur’an untuk mayit sesudah pemakaman, maka tidak ada satu riwayat pun dari salaf tentang hal ini. Oleh karena itu, pendapat ketiga ini membedakan antara membacakan Al Qur’an ketika pemakaman dan pembacaan Al Qur’an terus menerus sesudah pemakaman. Pembacaan Al Qur’an sesudah pemakaman adalah amalan yang tidak ada tuntunan dalam agama ini (baca: bid’ah). Amalan seperti ini tidak memiliki landasan dalil sama sekali.

[Mayit Mendapatkan Pahala karena Mendengar Al Qur’an yang Dibacakan padanya]

Sedangkan jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda, “Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya.

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.

[Membangun Masjid di Atas Kubur]

Adapun membangun masjid di atas kubur yang biasa disebut dengan masyahid, seperti ini tidaklah diperbolehkan. Bahkan seluruh ulama kaum muslimin melarang perbuatan semacam ini karena ada sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah melaknat orang Yahudi dan orang Nashrani karena mereka telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid. Allah memperingatkan apa yang mereka lakukan.

‘Aisyah mengatakan, “Seandainya bukan karena larangan beliau ini, tentu kubur beliau akan dikeluakan. Akan tetapi, hal ini dilarang karena ditakutkan kalau kuburnya dijadikan masjid.”

Dalam hadits yang shahih pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, mereka menjadikan kubur-kubur sebagai masjid.. Ingatlah janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kalian dari hal ini.

Dalam kitab sunan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melakanat para wanita yang sering menziarahi kubur dan orang yang menjadikan kubur sebagai masjid serta memasang lentera di atasnya.

[Shalat di Masjid yang Dibangun Di Atas Kubur dan Shalat di Daerah Pekuburan]

Para ulama telah bersepakat bahwa shalat di masyahid (masjid yang berada di atas kubur) tidaklah diperintahkan sama sekali baik dengan perintah wajib atau pun sunnah. Shalat di masyahid yang berada di atas kubur dan semacamnya tidaklah memiliki keutamaan dari tempat-tempat lainnya. Lebih-lebih lagi shalat di masyahid tidaklah lebih utama dari shalat di masjid berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin.

Barangsiapa meyakini bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur lebih memiliki keutamaan dari shalat di tempat lainnya atau lebih utama dari shalat di sebagian masjid, maka dia telah keluar dari jama’ah kaum muslimin dan telah keluar dari agama ini. Bahkan yang diyakini oleh umat ini bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur adalah sesuatu yang terlarang dengan larangan haram. Walaupun di sana, para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat di daerah pekuburan, apakah diharamkan, dimakruhkan, atau mubah? Atau dibedakan antara kubur yang baru digali dengan kubur yang sudah lama. Hal ini dikarenakan apakah larangan shalat di pekuburan tadi karena alasan najis yaitu bercampurnya tanah dengan darah mayit ataukah bukan?

Namun sebenarnya, larangan shalat di pekuburan tadi karena di sana terdapat tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang musyrik dan inilah asal penyembahan berhala.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”.” (QS. Nuh: 23)

Lebih dari satu orang sahabat dan tabi’in mengatakan bahwa berhala-berhala tadi adalah nama orang sholeh dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka mati, kaumnya beri’tikaf di atas pekuburan mereka. Lalu kaumnya membuat patung yang menyerupai orang sholeh tadi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwattho’-, “Ya Allah janganlah engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah. Sesungguhnya Allah amat murka terhadap kaum yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid.

[Nadzar di Masyahid]

Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak disyari’atkannya nadzar di masyahid (masjid yang berada di atas kubur) baik dengan zaitun, lilin, dirham dan selainnya dan tidak boleh ditujukan pada tetangga kubur atau orang penunggu kubur (khoddam). Hal ini tidak diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat orang yang menjadikan kubur sebagai masjid dan memasang lentera (penerangan) di atas kubur. Barangsiapa melakukan semacam ini, maka dia berarti telah melakukan nadzar maksiat.

Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan nadzar untuk mentaati Allah, maka lakukanlah nadzar tersebut. Namun, barangsiapa melakukan nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada Allah (dengan melaksanakan nadzar tersebut).”

Adapun kafaroh (tebusan) untuk orang yang melakukan nadzar semacam ini ada dua pendapat di antara para ulama.
Menurut madzhab Imam Ahmad dan selainnya, kafarohnya adalah sama dengan kafaroh sumpah[2]. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kafaroh nadzar sama dengan kafaroh sumpah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.

Dalam kitab sunan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan nadzar untuk mentaati Allah, maka lakukanlah nadzar tersebut. Namun, barangsiapa melakukan nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada Allah (dengan melaksanakan nadzar tersebut).”

Adapun madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, dan selainnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada kafaroh dalam nadzar seperti ini. Akan tetapi, dia boleh memberi sedekah -karena nadzar yang dia niatkan di masyahid tadi- kepada para faqir dari kaum muslimin, di mana para fiqir berarti telah menolong dirinya dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah perbuatan yang sangat baik dan pahalanya di sisi Allah.

[Yang Dianjurkan Ketika Menziarahi Masyahid dan Kubur Lainnya]

Adapun kubur yang terdapat di masyahid dan kubur lainnya, maka yang disunnahkan bagi orang yang menziarahinya adalah memberi salam kepada si mayit dan mendo’akan dirinya seperti pada shalat jenazah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajarkan para sahabatnya bacaan ketika berziarah kubur, “Assalaamu ‘alaikum ahlad diyaar minal mu’miniina wal muslimiin, wa inna insyaa Allah bikum ‘an qoriibin laahiquun wa yarhamullahul mustaqdimiina minnaa wa minkum wal musta’khiriin. Nas-alullaha lanaa wa lakumul ‘aafiyah. Allahumma laa tahrimnaa ajrohum wa laa taftinnaa ba’dahum waghfir lanaa wa lahum.

[Anggapan Ibadah Di Sisi Kubur Lebih Utama dari Tempat Lainnya]

Adapun mengusap-ngusap kubur, shalat di sisinya, bersengaja berdo’a di sisi kubur karena berkeyakinan bahwa do’a di tempat tersebut adalah lebih utama dari do’a di tempat lainnya, atau berkeyakinan pula bahwa nadzar di sisi kubur lebih utama dari tempat lainnya, maka amalan dan keyakinan semacam ini bukanlah ajaran Islam. Akan tetapi, ini semua termasuk ajaran yang jelek yang tidak ada tuntunannya (alias bid’ah qobihah, yang teramat jelek) dan semacam ini termasuk cabang-cabang kesyirikan. Wallahu a’lam wa ahkam.

[Diterjemahkan dan diringkas dari Majmu’ Al Fatawa, 24/314-321, Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni. Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal[3]]
_____________
[1] Beliau adalah Syaikhul Islam Al Imam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul ‘Abbas. Beliau terkenal dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau lahir tahun 661 H di Haron dan meninggal tahun 728 H. [2] Kafarohnya adalah memberi makan kepada 10 orang miskin sebagaimana makanan yang diberi pada keluarganya, atau memberi pakaian kepada 10 orang miskin, atau memerdekakan seorang budak. Jika tiga pilihan ini tidak mampu, maka kafarohnya adalah berpuasa selama tiga hari. Lihat Surat Al Maidah ayat 89. [3] NB: Yang didalam kurung seperti ini [ ], itu adalah tambahan judul dari kami untuk memudahkan pembaca.


0 komentar:

Posting Komentar