Test Footer 2

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Sabtu, 25 Agustus 2012

Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama


PRINSIP PERTAMA 
Pedoman Agama Adalah Al-Qur’an Dan Hadits Sesuai Pemahaman Salaf, Bukan Akal Dan Filsafat

  • Pedoman Imam Syafi’i Dalam Beragama
Sesungguhnya pedoman hukum dalam beragama adalah Al-Qur’an, hadits shohih dan ijma’. Tentang hujjahnya Al-Qur’an dan hadits Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“.(QS. An-Nisa’: 59)

Imam Abdul Aziz al-Kinani berkata: “Tidak ada perselisihan di kalangan orang yang beriman dan berilmu bahwa maksud mengembalikan kepada Allah adalah kepada kitabNya dan maksud mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah kepada sunnah beliau. Tidak ada yang meragukan hal ini kecuali orang-orang yang menyimpang dan tersesat. Penafsiran seperti yang kami sebutkan tadi telah dinukil dari Ibnu Abbas dan sejumlah para imam yang berilmu. Semoga Allah merahmati mereka semua”.[1] 

Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah juga berkata: “Para ulama salaf dan kholaf telah bersepakat bahwa maksud mengembalikan kepada Allah adalah kepada KitabNya (Al-Qur’an) dan kepada rasulNya di waktu masih hidup dan kepada sunnah beliau bila setelah wafat”.[2]

Adapun dalil bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) merupakan hujjah adalah firman Alloh[3]:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً
Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa’ [4]: 115)

Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَجْمَعُ اللهُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ أَبَدًا
Sesungguhnya Alloh tidak akan menjadikan  umatku bersepakat dalam kesesatan.[4]

Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i juga sebagaimana beliau tegaskan dalam banyak ucapannya, di antaranya adalah sebagai berikut:

Imam Syafi’i berkata:
وَلَمْ يَجْعَلِ اللهُ لِأَحَدٍ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ أَنْ يَقُوْلَ إِلاَّ مِنْ جِهَةِ عِلْمٍ مَضَى قَبْلَهُ وَجِهَةُ الْعِلْمِ بَعْدُ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالإِجْمَاعُ وَالآثَارُ وَمَا وَصَفْتُ مِنَ الْقِيَاسِ عَلَيْهَا
“Allah tidak memberikan kesempatan bagi seorangpun selain Rasulullah untuk berbicara soal agama kecuali berdasarkan ilmu yang telah ada sebelumnya, yaitu Kitab, Sunnah, ijma’, atsar sahabat dan qiyas (analogi) yang telah kujelaskan maksudnya”.[5]

Imam Syafi’i berkata:
كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْجِدُّ، وَمَا سِوَاهُمَا فَهُوَ هَذَيَانُ
“Setiap orang yang berbicara berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah maka dia sungguh-sungguh. Adapun selain keduanya maka dia mengigau”.[6]

Imam Syafi’i berkata:
فَقَدْ جَعَلَ اللهُ الْحَقَّ فِيْ كِتَابِهِ, ثُمَّ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَّ
“Sungguh Allah menjadikan Al-Haq (kebenaran) berada di dalam Al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya”.[7]

Imam Syafi’i berkata:
وَمَنْ قَالَ بِمَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ لَزِمَ جَمَاعَتَهُمْ, وَمَنْ خَالَفَ مَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ جَمَاعَتَهُمْ الَّتِيْ أُمِرَ بِلُزُوْمِهَا, وَإِنَّمَا تَكُوْنُ الْغَفْلَةُ فِي الْفُرْقَةِ, فَأَمَّا الْجَمَاعَةُ فَلاَ يُمْكِنُ فِيْهَا كَافَةًّ غَفْلَةٌ عَنْ مَعْنَى كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ قِيَاسٍ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Barangsiapa berpendapat sesuai dengan jama’ah kaum muslimin maka berarti dia berpegang kepada jama’ah mereka, dan barangsiapa yang menyelisihi jama’ah kaum muslimin maka dia menyelisihi jama’ah yang dia diperintahkan untuk mengikutinya. Sesungguhnya kesalahan itu ada dalam perpecahan, adapaun jama’ah maka tidak mungkin semuanya bersatu menyelisihi al-Qur’an, Sunnah[8], dan qiyas insya Alloh”.[9] 

  • Imam Syafi’i Mengagungkan Para Sahabat
    Imam Syafi’i sangat mengagungkan pemahaman para sahabat, berhujjah dengan ucapan para sahabat, memuji para sahabat dan melarang keras dari mencela mereka. Berikut beberapa ucapan Imam Syafi’i:

    Imam Syafi’i berkata:
    مَا كَانَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ مَوْجُوْدَيْنِ فَالْعُذْرُ عَمَّنْ سَمِعَهُمَا مَقْطُوْعٌ إِلاَّ بِاتِّبَاعِهِمَا, فَإِذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ صِرْنَا إِلَى أَقَاوِيْلِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَوْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ, ثُمَّ كَانَ قَوْلُ الأَئِمَّةِ أَبِيْ بَكْرٍ أَوْ عُمَرَ أَوْ عُثْمَانَ
    “Bila Al-Qur’an dan sunnah maka bagi orang yang mendengar keduanya tidak ada udzur untuk tidak mengikutinya. Tetapi kalau tidak ada, maka kita mengambil ucapan para sahabat Rasulullah atau salah satu di antara mereka, kemudian ucapan para imam Abu Bakar, Umar dan Utsman”.[10]

    Imam Syafi’i berkata:
    وَقَدْ أَثْنَى اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ فِي الْقُرْآنِ وَالتَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيْلِ, وَسَبَقَ لَهُمْ عَلَى لِسَانِ رَسُوْلِ اللهِ مِنَ الْفَضْلِ مَا لَيْسَ لِأَحَدٍ بَعْدَهُمْ, فَرَحِمَهُمُ اللهُ وَهَنَّأَهُمْ بِمَا أَتَاهُمْ مِنْ ذَلِكَ بِبُلُوْغِ أَعْلَى مَنَازِلِ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ, أَدَّوْا إِلَيْنَا سُنَنَ رَسُوْلِ اللهِ وَشَاهَدُوْهُ وَالْوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ, فَعَلِمُوْا مَا أَرَادَ رَسُوْلُ اللهُ عَامًّا وَخَاصًّا وَعَزْمًا وَإِرْشَادًا, وَعَرَفُوْا مِنْ سُنَّتِهِ مَا عَرَفْنَا وَجَهِلْنَا, وَهُمْ فَوْقَنَا فِيْ كُلِّ عِلْمٍ وَاجْتِهَادٍ وَوَرَعٍ وَعَقْلٍ وَأَمْرٍ اسْتُدْرِكَ بِهِ عُلِمَ وَاسْتُنْبِطَ بِهِ وَآرَاؤُهُمْ لَنَا أَحْمَدُ وَأَوْلَى بِنَا مِنْ رَأْيِنَا عِنْدَ أَنْفُسِنَا
    “Sungguh Allah telah memuji para sahabat Rasulullah dalam Taurat dan Injil dan Allah memberikan lewat lisan rasulNya kepada mereka keutamaan-keutamaan yang tidak diperoleh oleh seorangpun setelah mereka, semoga Allah merahmati mereka dan memberikan keselamatan kepada mereka dengan apa yang Allah berikan kepada mereka itu untuk sampai ke tingkatan para shiddiqin (orang-orang jujur), para syahid dan para shalihin, mereka telah menyampaikan sunnah Rasulullah kepada kita, dan mereka menyaksikannya ketika wahyu turun kepada beliau, sehingga mereka mengetahui maksud Rasulullah berupa umum dan khusus, wajib dan sunnah, dan mereka mengetahui apa yang kita ketahui dan kita tidak ketahui, mereka lebih tinggi daripada kita dari segi amal, kesungguhan, waro’, akal dan perkara yang dikritik atau diambil dalil, pendapat-pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama bagi kita daripada pendapat kita sendiri”.[11]

    Imam Syafi’i berkata menasehati muridnya Rabi’:
    لاَ تَخُوْضَنَّ فِيْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ ، فَإِنَّ خَصْمَكَ النَّبِيُّ غَدًا
    “Janganlah engkau mencela para sahabat Nabi, karena musuhmu kelak adalah Rasulullah”.[12]

    Beliau juga berkata:
    مَا أَرَى النَّاسَ ابْتُلُوْا بِشَتْمِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ إِلاَّ لِيَزِيْدَهُمُ اللهُ ثَوَابًا عِنْدَ انْقِطَاعِ عَمَلِهِمْ
    “Menurutku, tidaklah manusia diberi kesempatan untuk mencela para sahabat Nabi kecuali agar Allah menambah pahala mereka dengan celaan tersebut ketika amal mereka telah terputus”.[13]

    Ketahuilah wahai saudaraku bahwa mencela sahabat Nabi beresiko besar karena mereka adalah perantara yang menyampaikan Al-Qur’an dan hadits Nabi kepada kita. Kalau seandainya mereka dicela, maka dasarnya Al-Qur’an dan haditspun tercela. Semoga Allah merahmati imam Abu Zur’ah yang telah mengatakan:

    إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيْقٌ, وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُوْلَ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ, وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ, وَإِنَّمَا يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَجْرَحُوْا شُهُوْدَنَا لِيُبْطِلُوْا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ, وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةٌ.
    Apabila engkau mendapati orang yang mencela salah satu sahabat Nabi, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindiq (munafiq). Hal itu karena rasulullah adalah benar dan Al-Qur’an juga benar menurut (prinsip) kita. Dan orang yang menyampaikan Al-Qur'an dan sunnah adalah para sahabat Nabi. Dan para pencela para saksi kita (sahabat) hanyalah bertujuan untuk menghancurkan Al-Qur’an dan sunnah. Mencela mereka lebih pantas. Mereka adalah orang-orang zindiq.[14] 

    • Imam Syafi’i Termasuk Seorang Ahli Hadits
      Tidak ragu lagi bahwa Imam Syafi’i termasuk golongan ahli hadits dan mencintai ahli hadits. Imam Syafi’i berkata:
      عَلَيْكُمْ بِأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ، فَإِنَّهُمْ أَكْثَرُ النَّاسِ صَوَابًا
      “Hendaknya kalian ikuti ashabul hadits karena mereka adalah golongan yang banyak benarnya”.[15]

      Beliau juga berkata:
      إِذَا رَأَيْتُ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ، فَكَأَنِّيْ رَأَيْتُ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، جَزَاهُمُ اللهُ خَيْرًا، هُمْ حَفِظُوْا لَنَا الأَصْلَ، فَلَهُمْ عَلَيْنَا الْفَضْلَ
      “Apabila saya melihat seorang dari ashabul hadits maka seakan-akan saya melihat seorang dari sahabat Nabi. Semoga Allah membalas kebaikan mereka, mereka telah menjaga hadits untuk kita, mereka telah berjasa untuk kita”.[16] 

      • Imam Syafi’i Mendahulukan Dalil daripada Akal
        Termasuk pokok-pokok Ahli sunnah wal Jama’ah adalah bahwa akal bukanlah pedoman untuk menetapkan hukum dan aqidah, namun patokannya adalah dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, adapun akal hanyalah alat untuk memahami.

        Maka amatlah salah jika menjadikan akal sebagai hakim terhadap dalil Al-Qur’an dan hadits sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan, sehingga benar Imam as-Sam’ani tatkala mengatakan: “Mereka menjadikan akal-akal mereka sebagai para penyeru kepada Alloh dan menjadikannya seperti Rosul di tengah-tengah mereka. Seandainya ada orang mengatakan: “Tiada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi kecuali Alloh dan akal adalah Rosulku”, niscaya hal itu bukanlah sesuatu yang salah bagi ahli kalam secara makna”.[17]

        Inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i tatkala berkata:
        إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدَّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ
        “Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas”.[18]

        Imam Nawawi berkata: “Madzhab kami dan madzhab seluruh Ahli Sunnah adalah bahwa hukum itu tidak ditetapkan kecuali dengan syari’at dan bahwa akal tidaklah menetapkan sesuatupun”.[19]

        Masalah ini merupakan salah satu pembeda antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dengan kelompok-kelompok sesat lainnya. Abul Mudhoffar as-Sam’ani berkata: “Perbedaan mendasar antara kita (ahli sunnah) dengan ahli bid’ah adalah dalam masalah akal, mereka membangun agama mereka di atas akal dan menjadikan dalil mengikut kepada akal. Adapun ahlu Sunnah berkata: Asal dalam agama adalah ittiba’ (mengikuti dalil), akal hanyalah mengikut. Seandainya asas agama ini adalah akal, tentunya makhluk tidak memerlukan wahyu dan Nabi, tidak ada artinya perintah dan larangan dan dia akan berbicara sesukanya. Seandainya dibangun di atas akal maka konsekwensinya adalah boleh bagi kaum mukminin untuk tidak menerima sesuatu sehingga menimbang dengan akal mereka terlebih dahulu”.[20]


        [1] Al-Haidah wal I’tidzarr fir Raddi ‘ala Man Qoola Bikholqil Qur’an hlm. 32.
        [2] Risalah Tabukiyyah hlm. 47.
        [3] Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i tentang hujjahnya ijma’ ulama, sebagaimana dalam kisah yang panjang. (Lihat Manaqib Imam Syafi’i hlm. 83 oleh al-Aburri, Thobaqot Syafi’iyyah 2/243 oleh Ibnu Subki, Siyar A’lam Nubala’ 3/3295 oleh adz-Dzahabi).
        [4] HR. al-Hakim dalam al-Mustadrok 1/116, al-Baihaqi dalam Asma’ wa Shifat no. 702. Hadits ini memilki penguat yang banyak. Al-Hafizh as-Sakhowi berkata dalam al-Maqoshidul Hasanah hlm. 460: “Kesimpulannya, hadits ini masyhur matan-nya, memiliki sanad yang banyak, dan penguat yang banyak juga”. Syaikh al-Albani juga menshohihkan dalam As-Shohihah: 1331 dan Shohihul Jami’: 1848
        [5] Ar-Risalah hlm. 508.
        [6] Tawali Ta’sis hlm. 110 oleh Ibnu Hajar.
        [7] Al-Umm 7/298.
        [8] Al-Amidi berkata dalam al-Ihkam 1/342: “Semua bersepakat bahwa umat tidak akan bersepakat terhadap suatu hukum melainkan berlandaskan pada pedoman dan dalil”.
        [9] Ar-Risalah hlm. 475-476.
        [10] Al-Umm 7/265. Lihat pula Ar-Risalah hlm. 596-598.
        [11] Ucapan Imam Syafi’i dalam Risalah Baghdadiyyah yang diriwayatkan oleh Hasan bin Muhammad az-Za’faroni, sebagaimana dinukil oleh al-Baihaqi dalam Manaqib Syafi’i 1/442 dan Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in 1/30-31 –Tahqiq Syaikh Masyhur Hasan-.
        [12] Siyar A’lam Nubala 3/3283 oleh adz-Dzahabi.
        [13] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 120 oleh al-Aburri dan Manaqib Syafi’i 1/441 oleh al-Baihaaqi.
        [14] Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah hal. 48 oleh Al-Khathib Al-Baghdadi.
        [15] Tawali Ta’sis hlm. 110 oleh Ibnu Hajar.
        [16] Manaqib Syafi’i 1/477 oleh al-Baihaqi dan Siyar A’lam Nubala’ 3/3289 oleh adz-Dzahabi.
        [17] Al-Intishor Li Ashabil Hadits hlm. 77-78.
        [18] Adab Syafi’i hlm. 271 oleh Ibnu Abi Hatim, Tawali Ta’sis hlm. 134 oleh Ibnu Hajar.
        [19] Al-Majmu’ 1/263.
        [20] Al-Intishor Li Ashabil Hadits hlm. 81-82. 

        • Imam Syafi’i tidak beragama dengan ilmu kalam
          Islam tidak membutuhkan ilmu kalam sama sekali karena ilmu ini hanyalah berisi kejahilan, kebingungan, kesesatan dan penyimpangan[1]. Hal ini telah diakui oleh para pakar ahli kalam yang telah lama mendalami ilmu ini. 

          Imamul Haromain al-Juwaini, beliau berkata: “Wahai sahabat-sahabatku, janganlah kami sibuk dengan ilmu kalam. Seandainya saya tahu bahwa hasil ilmu kalam adalah seperti yang menimpa diriku, niscaya saya tidak akan menyibukkan diri dengan ilmu kalam”.[2] 

          Imam al-Ghozali juga menjelaskan dampak buruk ilmu kalam secara jelas lalu berkata: “Mungkin nasehat seperti ini kalau seandainya engkau mendengarnya dari seorang ahli hadits atau ahli sunnah tentu terbetik dalam hatimu bahwa “manusia adalah musuh apa tidak mereka ketahui’. Namun dengarkanlah hal ini dari seorang yang menyelami ilmu kalam dan berkelana panjang sehingga sampai kepada puncaknya ahli kalam”.[3]

          Demikian juga Fakhruddin ar-Rozi, pakar ahli kalam, beliau pernah mengatakan: 

          نِهَايَةُ إِقْدَامِ الْعُقُوْلِ عِقَالُ                   وَأَكْثَرُ سَعْيِ الْعَالمَِيْنَ ضَلاَلُ
          وَأَرْوَاحُنَا فِيْ وَحْشَةٍ مِنْ جُسُوْمِنَا       وَغَايَةُ دُنْيَانَا أَذَى وَوَبَالُ
          وَلَمْ نَسْتَفِدْ مِنْ بَحْثِنَا طُوْلَ عُمْرِنَا       سِوَى أَنْ جَمَعْنَا فِيْهِ قِيْلَ وَقَالُوْا

          Akhir dari mengedepankan akal hanyalah kemandegan
          Kebanyakan usaha manusia adalah kesesatan
          Ruh yang ada di badan kami selalu dalam kegundahan
          Ujung dari dunia kami adalah kemurkaan
          Kami tidak memetik hasil apa pun sepanjang umur
          Selain hanya mengumpulkan kabar burung.[4] 

          Oleh karena itulah para ulama telah mengingatkan kepada kita agar waspada dan menjauhi ilmu ini sejauh-jauhnya[5]. Di antara deretan para ulama tersebut adalah Imam Syafi’i.[6]

          Imam adz-Dzahabi berkata: “Telah mutawatir dari Imam Syafi’i bahwa beliau mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Beliau adalah seorang yang semangat dalam mengikuti atsar (sunnah) baik dalam masalah aqidah atau hukum fiqih”.[7]

          Ucapan Imam Syafi’i begitu banyak, di antaranya:
          الْعِلْمُ بِالْكَلاَمِ جَهْلٌ
          “Mempelajari ilmu kalam adalah kejahilan (kebodohan)”.[8]

          Beliau juga berkata:
          حُكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْجَرِيْدِ، وَيُحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ : هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلاَمِ
          “Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia kelilingkan ke kampung seraya dikatakan pada khayalak: Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari Al-Qur’an dan sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.”[9]

          Imam as-Sam’ani berkata setelah membawakan ucapan-ucapan seperti ini: “Inilah ucapan Imam Syafi’i tentang celaan ilmu kalam dan anjuran untuk mengikuti sunnah. Dialah imam yang tidak diperdebatkan dan terkalahkan”.[10].

          Dan simaklah kisah menarik berikut yang dituturkan oleh muridnya, al-Muzani, katanya: “Bila ada seorang yang berjasa mengeluarkan apa yang melekat dalam pikiran dan hatiku tentang masalah tauhid maka Syafi’i adalah orangnya. Saya pernah datang kepadanya ketika beliau berada di Masjid. Tatkala saya berada di depannya, beliau mengatakan: “Ada suatu hal yang mengganjal dalam hatiku tentang masalah tauhid dan saya tahu bahwa tidak ada seorang yang berilmu sepertimu? Beliau akhirnya marah seraya mengatakan: Tahukah kamu di mana kamu sekarang? Saya menjawab: Ya. Beliau berkata: Ini adalah tempat Allah menenggelamkan Fir’aun, apakah rasulullah memerintahkan untuk bertanya tentang hal itu? Saya jawab: Tidak. Beliau bertanya lagi: Apakah para sahabat membicarakan hal itu? Saya jawab: Tidak. Beliau bertanya: Tahukah kamu berapa jumlah bintang di langit dan dari apa dia diciptakan? Saya jawab: Tidak. Beliau mengatakan: Suatu benda yang dapat kamu lihat dengan matamu saja kamu tidak mengetahui lantas kenapa kamu akan berbicara tentang ilmu penciptaNya? Kemudian dia bertanya lagi kepada masalah wudhu lalu saya salah, kemudian beliau memerincinya menjadi empat cabang masalah dan sayapun salah semua dalam menjawab, lalu beliau berkata: Suatu ibadah yang kamu butuhkan lima kali dalam sehari saja kamu belum mengilmuinya tetapi kamu ingin menyusahkan diri mempelajari ilmu Allah. Apabila terbesit lagi hal itu dalam hatimu maka ingatlah firman Allah:

          وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
          Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqoroh: 163-164)

          Maka jadikanlah makhluk sebagai bukti tentang Sang Kholiq (Pencipta) dan janganlah engkau memberatkan diri apa yang tidak dijangkau oleh akalmu”.[11] 

          Kesimpulan:
          Dengan penjelasan beberapa point di atas, dapat kita ketahui bahwa Imam Syafi’i meniti metode salaf dalam beragama, beliau bersandar pada Al-Qur’an, hadits shahih dan ijma’ ulama sesuai dengan pemahaman para sahabat dan ahli hadits, para salaf shalih, dan beliau dalam beragama tidak berpedoman kepada akal dan ilmu kalam/filsafat. Wallahu A’lam.


          [1] Lihat tulisan al-Ustadz Armen Halim Naro “Filsafat Islam Konspirasi Keji” yang dimuat dalam Majalah Al Furqon edisi 2 Tahun 6 rubrik aqidah.
          [2] Al-Mantsur Minal Hikayat was Sualat hlm. 51 oleh Al-Hafizh Muhammad bin Thohir al-Maqdisi.
          [3] Ihya’ Ulumuddin 1/97.
          [4] Lihat Dar`u Ta’arudh al-’Aql wan Naql 1/159-160 oleh Ibnu Taimiyah, Thabaqat asy-Syafi’iyah 2/82 oleh Ibnu Qadhi Syuhbah.
          [5] Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan tiga alasan di balik larangan ulama salaf untuk mempelajari ilmu kalam: Pertama: Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan. Kedua: Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh Al-Qur’an dan hadits serta ulama salaf. Ketiga: Merupakan sebab meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah. (Lihat Shonul Manthiq hlm. 15-33).
          [6] Lihat tentang peringatan para ulama tentang ilmu kalam dan ahli kalam secara panjang dalam kitab Dzammul Kalam wa Ahlihi oleh Imam al-Harowi dan Shounul Mantiq oleh al-Hafizh as-Suyuthi.
          [7] Mukhtashor Al-Uluw hlm. 177.
          [8] Hilyatul Auliya’ 9/111.
          [9] Manaqib Syafi’i al-Baihaqi 1/462, Tawali Ta’sis Ibnu Hajar hal. 111, Syaraf Ashabil Hadits al-Khathib al-Baghdadi hal. 143. Imam adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lam Nubala’ 3/3283: “Ucapan ini mungkin mutawatir dari Imam Syafi’i”.
          [10] Al-Intishor li Ashabil Hadits hlm. 8.
          [11] Siyar A’lam Nubala’ 3/3283 oleh adz-Dzahabi. 


          PRINSIP KEDUA 
          Membela Hadits Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam

          Adapun bagaimana peran Imam Syafi’i dalam hadits?! Sebenarnya ini adalah masalah yang cukup populer dari Imam yang mendapat gelar “Pembela hadits” ini, namun tidak mengapa jika kita tampilkan di sini beberapa sisi dan bukti pembelaan dan pengagungan beliau terhadap hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. Dan kami tekankan di sini beberapa masalah yang merupakan kaidah dan prinsip dasar dalam memahami dan membela hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. 

          • Imam Syafi’i Pembela Hadits Nabi
            Sesungguhnya membela hadits  Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam merupakan suatu amalan yang amat mulia dan utama. Oleh karenanya, tidak heran bila para ulama menilainya sebagai Jihad fi Sabilillah. Imam Yahya bin Yahya pernah mengatakan:
            الذَّبُّ عَنِ السُّنَّةِ أَفْضَلُ مِنَ الْجِهَادِ
            Membela sunnah lebih utama daripada jihad[1].

            Imam Al-Humaidi mengatakan:
            وَاللهِ! لأَنْ أَغْزُوَ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَرُدُّوْنَ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَغْزُوَ عِدَّتَهُمْ مِنَ الأَتْرَاكِ
            Saya perang melawan orang-orang yang menolak hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam lebih saya sukai daripada saya perang melawan pasukan kafir sejumlah mereka[2].

            Syaikh Muhammad bin Murtadha al-Yamani berkata: “Pembela sunnah adalah seperti seorang yang berjihad di jalan Allah, yang mempersiapkan alat, kekuatan dan bekal semampunya, sebagaimana firman Allah:
            وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
            Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. (QS. Al-Anfal: 60)

            Telah shahih dalam Shahih Bukhari bahwa Malaikat Jibril mendukung Hassan bin Tsabit tatkala dia melantunkan syair-syairnya dalam rangka pembelaannya terhadap Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. Demikian pula setiap orang yang membela agamanya dan sunnahnya karena didasari rasa cinta kepada Nabi”.[3]

            Dan Imam Syafi’i termasuk barisan para pembela hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam sehingga beliau mendapat gelar dari para ulama semasa beliau dengan “Nashirul sunnah” pembela hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam.

            Imam Ahmad berkata: “Semoga Allah merahmati Syafi’i, dia telah membela hadits-hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam “.[4]

            Imam Syafi’i berkata:
            سُمِّيْتُ بِمَكَّةَ نَاصِرَ الْحَدِيْثِ
            “Di Mekkah saya digelari sebagai pembela hadits”.[5]

            سُمِّيْتُ بِبَغْدَادَ نَاصِرَ الْحَدِيْثِ
            “Di Baghdad saya digelari sebagai pembela hadits”.[6]

            Sikap sangat menarik dan menakjubkan yang menunjukkan pengaguman Imam Syafi’i terhadap hadits dan sikap beliau terhadap orang yang menolak hadits adalah kisah laporan beliau kepada Al-Qodhi Abul Bakhtari tentang Bisyr al-Marrisi[7] karena dia telah menolak hadits Rasulullah.

            Imam Syafi’i bercerita: “Saya pernah berdebat dengan al-Marrisi tentang undian, lalu dia mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Maka saya datang kepada Abul Bakhtari seraya aku katakan padanya: “Aku mendengar al-Marrisi mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Lalu dia mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (kunyah Imam Syafi’i), datangkanlah saksi lainnya niscaya saya akan membunuhnya”. Dalam lafadz lainnya: “Datangkanlah saksi lainnya, niscaya saya akan mengangkatnya di atas pohon lalu menyalibnya”.[8] 

            • Kedudukan Hadits Dalam Pandangan Imam Syafi’i
              Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Alloh merahmatimu- bahwasanya Alloh menurunkan dua wahyu berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah kepada Rosul-Nya dan mewajibkan kepada seluruh hamba untuk mengimani keduanya dan mengamalkan kandungannya. Alloh berfirman:
              وَأَنزَلَ اللّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
              Dan Alloh telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu.(QS. an-Nisa [4]:113)

              Maksud al-kitab yaitu al-Qur’an dan maksud al-Hikmah adalah Sunnah Nabi dengan kesepakatan ulama Salaf. Imam Syafi’i berkata:
              فَذَكَرَ اللهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ يَقُوْلُ الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ
              “Alloh menyebut al-Kitab yaitu al-Qur’an dan mengiringinya dengan al-hikmah. Saya mendengar para ahli ilmu tentang al-Qur’an yang saya ridhoi bahwa maksud Al-Hikmah adalah sunnah Rosululloh”.[9] 

              • Imam Syafi’i Membantah Para Pengingkar Hadits
                Imam Syafi’i telah membantah secara tuntas para pengingkar sunnah yang hanya mencukupkan dengan Al-Qur’an saja tanpa hadits dan berdialog dengan mereka dengan hujjah-hujjah yang kuat. Banyak sekali ucapan beliau dalam masalah ini, tetapi kita nukil beberapa saja di sini.
                وَكُلُّ مَا سَنَّ فَقَدْ أَلْزَمَنَا اللهُ اتِّبَاعَهُ وَجَعَلَ فِي اتِّبَاعِهِ طَاعَتَهُ, وَفِي الْعُنُوْدِ عَنِ اتِّبَاعِهَا مَعْصِيَتَهُ الَّتِيْ لَمْ يَعْذِرْ بِهَا خَلْقًا, وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ مِن اتِّبَاعِ سُنَنِ رَسُوْلِ اللهِ مَخْرَجًا لِمَا وَصَفْتُ وَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
                “Setiap apa yang dicontohkan oleh Nabi maka Allah mewajibkan kita untuk mengikutinya dan menjadikan hal itu sebagai ketaatan dan Allah menjadikan sikap menyimpang dan tidak mengikutinya sebagai kemaksiatan yang Allah tidak memberikan udzur kepada makhluk, dan Allah tidak menjadikan jalan keluar dari mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah, sebagaimana telah saya jelaskan dan sebagaimana sabda Nabi”.[10]

                Lalu beliau membawakan sebuah hadits Abu Rofi’:
                لاَ أَلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِنْ أَمْرِيْ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ لاَ أَدْرِيْ مَا وَجَدْنَا فِيْ كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ
                Hampir saja saya mendapati salah seorang di antara kalian duduk seraya bersandar di atas ranjang hiasnya tatkala datangnya padanya perintah atau larangan dariku lalu dia berkomentar: Saya tidak tahu, apa yang kami jumpai dalam Al-Qur’an maka kami mengikutinya[11].

                Beliau berkomentar tentang hadits di atas:
                وَفِيْ هَذَا تَثْبِيْتُ الْخَبَرِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَإِعْلاَمُهُمْ أَنَّهُ لاَزِمٌ لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَجِدُوْا لَهُ نَصَّ حُكْمٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ
                “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hujjahnya hadits dari Rasulullah dan penejalasan kepada hamba bahwa wajib bagi mereka mengikuti hadits sekalipun mereka tidak mendapati nash hukumnya dalam kitabullah (Al-Qur’an)”.[12]

                Imam al-Baihaqi berkata: “Inilah khabar Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam tentang ingkarnya para ahli bid’ah terhadap hadits beliau. Sungguh apa yang beliau Shallallahu'alaihi wa sallam sampaikan telah nyata terjadi.”[13]

                Imam as-Suyuthi berkata: “Ketahuilah -semoga Alloh merahmatimu- bahwa orang yang mengingkari hadits Nabi yang shohih sebagai hujjah, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, maka dia telah kufur, keluar dari Islam dan dikumpulkan bersama orang-orang Yahudi, Nashara dan kelompok-kelompok kafir lainnya”.[14]

                Ibnu Hazm juga berkata: “Seandainya ada orang yang mengatakan: Kami tidak mengambil kecuali apa yang kami dapati dalam Al-Qur’an saja maka dia telah kafir dengan kesepakatan ulama”.[15]


                [1] Dzammul Kalam al-Harawi 4/254/no. 1089, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 4/13
                [2] Dzammul Kalam al-Harawi 2/158/no. 236
                [3] Iitsar al-Haq ‘ala Al-Khalq hal. 24.
                [4] Tawali Ta’sis hlm. 86 oleh Ibnu Hajar.
                [5] Tawali Ta’sis hlm. 40 oleh Ibnu Hajar.
                [6] Siyar A’lam Nubala 3/3286.
                [7] Demikian harokatnya yang benar, dengan menfathah mim, mengkasroh ro’ dan mensukun ya’. (Wafayatul A’yan Ibnu Khollikan 1/278, Dhobtul A’lam hlm. 189 Ahmad Taimur Basya).
                [8] Diriwayatkan Al-Khollal dalam As-Sunnah 1735 dan Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya 7/60 dengan sanad yang shohih. (Lihat Sittu Duror hlm. 65 oleh Abdul Malik Romadhoni).
                [9] Ar-Risalah hal.78.
                [10] Ar-Risalah hlm. 88-89.
                [11] HR. Abu Dawud (4604), Ahmad (4/130-131), dll. Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah (163) dan Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi hlm. 30.
                [12] Ar-Risalah hlm. 404.
                [13] Dala’il Nubuwwah (1/25).
                [14] Miftahul Jannah fil Ihtijaj Bis Sunnah hal.11.
                [15] Al-Ihkam 2/208.

                • Hadits Ahad Hujjah Menurut Imam Syafi’i
                Masalah ini telah dibahas tuntas dan panjang lebar oleh Imam Syafi’i dalam banyak kesempatan. Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Kelompok ketiga mengatakan: “Kami menerima hadits-hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam  yang mutawatir dan kami menolak hadits-hadits ahad[1] baik berupa ilmu maupun amal. Syafi’i telah berdialog dengan  sebagian manusia pada zamannya tentang masalah ini, kemudian Syafi’i mematahkan syubhat (kerancuan) lawannya dan menegakkan hujjah-hujjah kepadanya. Syafi’i membuat satu bab yang panjang tentang wajibnya menerima hadits ahad. Tidaklah beliau dan seorangpun dari ahli hadits membedakan antara hadits masalah ahkam (hukum) dan sifat (aqidah). Paham pembedaan seperti tidaklah dikenal dari seorangpun dari sahabat dan satupun dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in maupun seorangpun dari kalangan imam Islam. Paham ini hanyalah dikenal dari para gembong Ahli bid’ah beserta cucu-cucunya”.[2]

                Di antara kata mutiara Imam Syafi’i tentang masalah ini adalah nukilan beliau tentang ijma’ ulama akan hujjahnya hadits ahad apabila shohih dari Nabi, beliau berkata:
                لَمْ أَحْفَظْ عَنْ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِيْ تَثْبِيْتِ خَبَرِ الْوَاحِدِ
                “Saya tidak mendapati perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu tentang menerima hadits ahad”. [3]

                Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Ahli ilmu dari kalangan pakar fiqih dan hadits di setiap negeri -sepanjang pengetahuan saya- telah bersepakat untuk menerima hadits ahad dan mengamalkannya. Inilah keyakinan seluruh ahli ilmu pada setiap masa semenjak masa sahabat hingga saat ini kecuali kelompok khowarij dan ahli bid’ah yang perselisihan mereka tidaklah dianggap”.[4]

                Imam Abu Mudhoffar as-Sam’ani berkata: “Sesungguhnya suatu hadits apabila telah Shohih dari Rosululloh shalallahu’alaihi wasallam maka dia mengandung ilmu. Inilah perkataan seluruh ahli hadits dan sunnah. Adapun paham yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak mengandung ilmu dan harus berderajat mutawatir, maka paham ini hanyalah dibuat-buat oleh kaum Qodariyah dan Mu’tazilah dengan bertujuan menolak hadits Nabi. Paham ini kemudian diusung oleh orang-orang belakangan yang tidak berilmu mantap dan tidak mengetahui tujuan paham ini. Seandainya setiap kelompok mau adil, sungguh mereka akan menetapkan bahwa hadits ahad mengandung ilmu karena engkau lihat sekalipun keadaan mereka yang compang-camping dan beragam aqidah mereka, namun setiap kelompok dari mereka berhujjah dengan hadits ahad untuk menguatkan pahamnya masing-masing”.[5]

                Imam Ibnul Qosh asy-Syafi’i berkata: “Sesungguhnya ahli kalam (filsafat) itu menolak hadits ahad disebabkan lemahnya dia tentang ilmu hadits. Dia menganggap dirinya tidak menerima hadits kecuali yang mutawatir berupa khabar yang tidak mungkin salah atau lupa. Hal ini menurut kami adalah sumber untuk menggugurkan sunnah al-Musthafa Shallallahu'alaihi wa sallam.” [6]

                Para ulama kita telah membahas tuntas dan panjang masalah ini, sehingga tidak perlu bagi kami untuk memerincinya di sini.[7] 

                • Tidak Mungkin Al-Qur’an Bertentangan Dengan Hadits
                  Harus kita yakini bahwa dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits yang shahih tidaklah saling bertentangan sama sekali karena keduanya dari Allah. Allah berfirman:
                  أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
                  Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa’: 82)

                  Inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i tatkala berkata:
                  وَلاَ تَكُوْنُ سُنَّةٌ أَبَدًا تُخَالِفُ الْقُرْآنَ
                  “Tidak mungkin sunnah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam menyelisihi Kitabullah sama sekali.”[8]

                  Bahkan beliau menilai ucapan seseorang bahwa “hadits apabila menyelisihi tekstual al-Qur’an, tertolak” adalah suatu kejahilan. [9] 

                  • Apabila Hadits Bertentangan dengan Pendapat
                    Imam Syafi’i telah berwasiat emas kepada kita semua apabila ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kita, maka hendaknya kita mendahulukan hadits dan berani meralat pendapat kita.
                    Imam Ibnu Rojab berkata: “Adalah Imam Syafi’i sangat keras dalam hal ini, beliau selalu mewasiatkan kepada para pengikutnya untuk mengikuti kebenaran apabila telah nampak kepada mereka dan memerintahkan untuk menerima sunnah apabila datang kepada mereka sekalipun menyelisihi pendapat beliau”.[10]

                    Syaikh Jamaluddin Al-Qosimi juga berkata: “Imam Syafi’i sangat mengangungkan Sunnah, mendahulukan sunnah daripada akal, kapan saja sampai kepada beliau sebuah hadits maka beliau tidak melampui kandungan hadits tersebut”.[11]

                    Banyak sekali bukti akan hal itu. Cukuplah sebagian nukilan berikut sebagi bukti akan hal itu:

                    1.  Robi’ (salah seorang murid senior Syafi’i) berkata: “Saya pernah mendengar Imam Syafi’i meriwayatkan suatu hadits, lalu ada seorang yang hadir bertanya kepada beliau: “Apakah engkau berpendapat dengan hadits ini wahai Abu Abdillah? Beliau menjawab:
                    مَتَى رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَمْ آخُذْ بِهِ، فَأُشْهِدُكُمْ أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ
                    “Kapan saja saya meriwayatkan sebuah hadits shohih dari Rasulullah kemudian saya tidak mengambilnya, maka saksikanlah dan sekalian jama’ah bahwa akalku telah hilang”.[12]

                    2.   Imam Syafi’i juga berkata:
                    يَا ابْنَ أَسَدٍ اقْضِ عَلَيَّ حَيِيْتُ أَوْ مِتُّ أَنَّ كُلَّ حَدِيْثٍ يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ فَإِنِّيْ أَقُوْلُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغْنِيْ
                    “Wahai Ibnu Asad, putuskanlah atasku, baik aku masih hidup atau setelah wafat bahwa setiap hadits yang shahih dari Rasulullah, maka sesungguhnya itulah pendapatku sekalipun hadits tersebut belum sampai kepadaku”.[13]

                    3.  Al-Humaidi (salah seorang murid Syafi’i) berkata: “Suatu kali Imam Syafi’i meriwayatkan suatu hadits, lalu saya bertanya kepada beliau: Apakah engkau berpendapat dengan hadits tersebut? Maka beliau menjawab:
                    رَأَيْتَنِيْ خَرَجْتُ مِنْ كَنِيْسَةٍ، أَوْ عَلَيَّ زُنَّارٌ، حَتَّى إِذَا سَمِعْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثًا لاَ أَقُوْلُ بِهِ وَلاَ أُقَوِّيْهِ؟
                    “Apakah kamu melihatku keluar dari gereja atau memakai pakaian para pendeta sehingga bila aku mendengar sebuah hadits Rasulullah, aku tidak berpendapat dengan hadits tersebut dan tidak mendukungnya?!!”.[14]

                    “Dalam ucapan ini terdapat bantahan yang jelas bagi para ahli taklid yang taklid buta pada imam atau madzhab tertentu sehingga ketika didatangkan kepada mereka hadits Nabi yang shahih, mereka berpaling seraya mengatakan: Kami bermazdhab Syafi’i, atau madzhab kami Abu Hanifah dan sebagainya.

                    Lihatlah bagaimana Imam Syafi’i merasa heran dan mengingkari seorang yang bertanya kepadanya: Apakah engkau akan mengambil hadits yang engkau riwayatkan? Perhatikanlah wahai saudaraku bagaimana jawaban Imam Syafi’i, beliau menyamakan orang yang meninggalkan hadits dengan orang Nashrani yang kafir?!!!”.[15]

                    4.  Imam Syafi’i berkata: 
                    إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
                    “Apabila ada hadits shohih maka itulah madzhabku”.[16]

                    Ucapan emas dan berharga ini memberikan beberapa faedah kepada kita:
                    a.    Madzhab Imam Syafi’i dan pendapat beliau adalah berputar bersama hadits Nabi.

                    Oleh karena itu, seringkali beliau menggantungkan pendapatnya dengan shahihnya suatu hadits seperti ucapannya “Apabila hadits Dhuba’ah shahih maka aku bependapat dengannya”, “Apabila hadits tentang anjuran mandi setelah memandikan mayit shohih maka aku berpendapat dengannya” dan banyak lagi lainnya sehingga dikumpulkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab berjudul “Al-Minhah Fiima ‘Allaqo Syafi’i Al-Qoula Fiihi Ala Sihhah”.[17]

                    b.    Hadits yang lemah dan palsu bukanlah madzhab Imam Syafi’i, karena beliau mensyaratkan shohih.

                    Imam Nawawi berkata menjelaskan keadaan Imam Syafi’i: “Beliau sangat berpegang teguh dengan hadits shahih dan berpaling dari hadits-hadits palsu dan lemah. Kami tidak mendapati seorangpun dari fuqoha’ yang perhatian dalam berhujjah dalam memilah antara hadits shohih dan dho’if seperti perhatian beliau. Hal ini sangatlah nampak sekali dalam kitab-kitabnya, sekalipun kebanyakan sahabat kami tidak menempuh metode beliau”.[18]

                    Al-Hafizh al-Baihaqi juga berkata setelah menyebutkan beberapa contoh kehati-hatian beliau dalam menerima riwayat hadits: “Madzhab beliau ini sesuai dengan madzhab para ulama ahli hadits dahulu”.[19]

                    c.     Imam Syafi’i tidak mensyaratkan suatu hadits itu harus mutawatir, tetapi cukup dengan shohih saja, bahkan beliau membantah secara keras orang-orang yang menolak hadits shohih dengan alasan bahwa derajatnya hanya ahad bukan mutawatir!!

                    Demikianlah beberapa contoh pengagungan beliau terhadap sunnah Nabi dan peringatan keras beliau terhadap menolak Sunnah Nabi. Maka ambilah pelajaran wahai orang yang berakal!!.

                    Kesimpulan:
                    Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Imam Syafi’i betul-betul layak dengan gelar “pembela hadits” karena pembelaanya kepada hadits Nabi dan bantahannya kepada para penghujat hadits. Dan beliau juga telah meletakkan kaidah-kaidah penting, seperti:
                    1. Hadits adalah hujjah seperti halnya Al-Qur’an
                    2. Hadits Ahad adalah Hujjah baik dalam aqidah maupun hukum
                    3. Hadits tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an
                    4. Hadits harus lebih didahulukan daripada pendapat seorang.


                    [1] Mutawatir secara bahasa berurutan atau beriringan. Adapun secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari jalan yang sangat banyak sehingga mustahil kalau mereka bersepakat dalam kedustaan karena mengingat banyak jumlahnya dan keadilannya serta perbedaan tempat tinggalnya. Ahad secara bahasa satu  Adapun secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari satu jalan, dua atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. (Lihat  Akhbarul Ahad fil Hadits Nabawi hlm. 40, 48 oleh Abdullah al-Jibrin, Taisir Mustholah Hadits hlm. 23, 27 oleh Dr. Mahmud ath-Thohan).
                    [2] Mukhtashor Showaiq Al-Mursalah (2/433-435).
                    [3] Ar-Risalah hal. 457.
                    [4] At-Tamhid 1/6.
                    [5] Al-Intishor Li Ashabil Hadits hlm. 34-35.
                    [6] Dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/281.
                    [7] Lihatlah kitab Al-Hadits Hujjah bi Nafihi fil Aqoid wal Ahkam dan Wujub Al-Akhdhi bi Haditsil Ahad fil Aqidah war Roddu Ala Syubahil Mukholifin, keduanya karya Syaikh al-Albani.
                    [8] Jima’ul Ilmi hlm. 124, Ar-Risalah hal. 546.
                    [9] Ikhtilaf Hadits hal. 59.
                    [10] Al-Farqu Baina Nashihah wa Ta’yir hlm. 9.
                    [11] Syarh Al-Arba’in Al-Ajluniyyah hlm. 262.
                    [12] Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/389 oleh al-Khothib al-Baghdadi.
                    [13] Al-I’tiqod hlm. 133 oleh al-Baihaqi.
                    [14] Manaqib Syafi’i 1/475 oleh al-Baihaqi.
                    [15] Silsilah Atsar Shahihah hlm. 25.
                    [16] Hilyatul Auliya’ 9/170 oleh Abu Nu’aim dan dishohihkan an-Nawawi dalam Al-Majmu’ 1/63. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ucapan ini masyhur dari beliau”. (Tawali Ta’sis hlm. 109). Dan as-Subki memiliki kitab khusus tentang ucapan ini berjudul “Makna Qoulil Imam Al-Muthollibi Idha Shohhal Haditsu Fahuwa Madzhabi”.
                    [17] Lihat Tawali Ta’sis hlm. 109 oleh Ibnu Hajar, Mu’jam Al-Mushonnafat Al-Waridah fi Fathil Bari hlm. 415 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman.
                    [18] Al-Majmu’ 1/28.
                    [19] Risalah Al-Baihaqi ila al-Juwaini sebagaimana dalam Thobaqot Syafi’iyyah 5/81.


                    PRINSIP KETIGA 
                    Mengagungkan Tauhid Dan Memberantas Syirik

                    Tauhid merupakan perkara yang sangat penting sekali. Karenanya, Allah menciptakan manusia dan Jin, karenanya Allah mengutus para utusan dan menurunkan kitab-kitab, karenanya Allah menciptakan surga dan neraka, karenanya Allah menganjurkan jihad.

                    Maka hendaknya seorang muslim untuk memprioritaskan dan mencurahkan tenaganya pertama kali untuk mempelajari tauhid. Allah berfirman:
                    فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
                    Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak diibadati selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (QS. Muhammad:19)

                    • Imam Syafi’i Menetapkan Pembagian Tauhid Menjadi tiga
                    Berdasarkan penelitian yang seksama terhadap dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi, para ulama menyimpulkan bahwa tauhid terbagi menjadi tiga:
                    1. Tauhid Rububiyyah
                    2. Tauhid Uluhiyyah
                    3. Tauhid Asma’ wa Shifat
                    Pembagian ini bukanlah perkara baru/bid’ah apalagi menyerupai agama trinitas[1], tetapi pembagian ini berdasarkan penelitian terhadap dalil. Hal ini persis dengan pembagian para ulama ahli bahasa yang membagi kalimat menjadi tiga: isim, fi’il dan huruf.[2].

                    Banyak sekali ayat ayat yang menjelaskan tiga macam tauhid ini, bahkan dalam surat Al-Fatihah terkandung tiga macam permbagian tauhid.

                    Demikian juga, banyak ucapan para ulama salaf[3] yang menunjukkan pembagian ini, seandainya kami menukilnya niscaya akan mempertebal buku ini, cukuplah di antaranya ucapan Imam Syafi’i tatkala berkata:
                    الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرِ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ…  وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ
                    “Segala puji hanya bagi Allah yang mencipatakan langit-langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya kemudian orang-orang kafir menyimpang… Dan orang-orang yang mensifatkan tentang keagunganNya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diriNya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhlukNya”. [4]
                    • Ucapan beliau “yang menciptakan langit dan bumi…” ini adalah tauhid rububiyyah.
                    • Ucapan beliau “kemudian orang-orang kafir menyimpang” ini adalah tauhid uluhiyyah karena penyimpangan mereka bukan pada tauhid rububiyyah tetapi dalam uluhiyyah.
                    • Ucapan beliau “orang-orang yang mensifatkan tentang keagunganNya…” ini adalah tauhid asma’ wa shifat.
                    • Tauhid Rububiyyah
                    Demikian juga Imam Syafi’i, beliau telah menegaskan akan tauhid rububiyyah ini. Dikisahkan bahwa pernah ada tujuh belas orang zindiq menghadang Imam Syafi’i di jalan Ghoza, lalu mereka bertanya: “Apa dalil adanya Pencipta?” Syafi’i berkata: Seandainya saya menyebutkan padamu bukti yang kuat, apakah kalian akan beriman? Mereka berkata: “Ya”. Syafi’i berkata: “Daun pohon tut, warna dan rasanya sama, namun ketika dimakan oleh beberapa makhluk kenapa keluarnya berbeda, kalau dimakan lebah jadinya madu dan kalau dimakan kambing jadinya kotoran, tentu semua itu pasti ada yang mengaturnya”.

                    Beliau juga berkata: “Saya melihat sebuah benteng yang kuat dan mulus tanpa retak sedikitpun, luarnya seperti perak dan dalamnya seperti emas dan temboknya sangat kuat sekali, kemudian saya melihat dinding tersebut pecah dan keluar darinya seekor hewan yang bisa mendengar dan melihat. Pasti semua itu ada yang mengatur. Benteng kuat tersebut adalah telur dan hewannya adalah ayam”.[5]

                    Imam Syafi’i juga sering melantunkan bait-bait syair sebagai berikut:

                    فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الإِلَهُ                   أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ
                    وَفِيْ كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ                     تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ

                    Aduhai bagaimana Allah dimaksiati
                    Atau bagaimana seorang mengingkariNya
                    Dalam segala sesuatu terdapat tanda
                    Yang menunjukkan bahwa Allah adalah Esa.[6]


                    [1] Dr. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad menulis sebuah kitab berjudul “Al-Qoulus Sadid fir Raddi Ala Man Ankara Taqsima Tauhid” (bantahan bagus untuk para pengingkar pembagian tauhid). Dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan dalil-dalil dan ucapan-ucapan ulama salaf yang menegaskan adanya pembagian tauhid ini dan membantah sebagian kalangan yang mengatakan bahwa pembagian tauhid ini adalah termasuk perkara bid’ah.
                    [2] Lihat At-Tahdzir Min Mukhtashorot Ash-Shobuni fi Tafsir hlm. 331 –ar-Rudud- oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Adhwaul Bayan 3/488-493 oleh Imam asy-Syinqithi.
                    [3] Dalam kitabnya “Al-Mukhtashorul Mufid fi Bayani Dalail Aqsami Tauhid”, Syaikh Dr. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad menukil ucapan-ucapan ulama salaf yang menetapkan klasifikasi tauhid menjadi tiga ini, seperti Imam Abu Hanifah (w 150 H), Ibnu Mandah (182 H), Ibnu Jarir  (310 H), ath-Thohawi (w 321 H), Ibnu Hibban (354 H), Ibnu Baththoh (387 H), Ibnu Khuzaimah (395 H), Ath-Thurtusi (520 H), al-Qurthubi (671 H). Lantas, akankah setelah itu kita percaya dengan ucapan orang yang mengatakan bahwa klasifikasi ini baru dimunculkan oleh Ibnu Taimiyyah pada abad ke delapan hijriyyah?!!! Fikirkanlah wahai orang yang berakal!!
                    [4] Ar-Risalah hlm. 7-8.
                    [5] Mufidul Ulum hlm. 25-27 oleh al-Qozwini, sebagaimana dalam Manhaj Imam Syafi’i fi Itsbatil Aqidah hlm. 325-326 oleh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab al-‘Aqil.
                    [6] Al-Manaqib 2/109 oleh al-Baihaqi. 

                    • Tauhid Uluhiyyah
                    Tauhid Uluhiyyah adalah memurnikan seluruh macam ibadah hanya untuk Allah semata, baik ibadah lisan, hati, dan anggota badan. Tauhid inilah yang berisi kandungan Laa Ilaha Illa Allah yang berarti tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja.

                    Tauhid jenis inilah pembeda antara muslim dan kafir dan inilah hakekat tauhid yang sesungguhnya. Imam Syafi’i berkata:
                    سُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الْكَلاَمِ وَالتَّوْحِيْدِ، فَقَالَ: مُحَالٌ أَنْ نَظُنَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ عَلَّمَ أُمَّتَهُ الاسْتِنْجَاءَ، وَلَمْ يُعَلِّمْهُمْ التَّوْحِيْدَ، وَالتَّوْحِيْدُ مَا قَالَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “، فَمَا عَصَمَ بِهِ الدَّمَ وَالْمَالَ حَقِيْقَةُ التَّوْحِيْدِ.
                    “Imam Malik pernah ditanya tentang kalam  masalah kalam dan tauhid, maka beliau menjawab: Mustahil kalau Nabi mengajarkan kepada umatnya tentang tata cara istinja’ (buang kotoran) tetapi tidak mengajarkan mereka tentang tauhid. Tauhid adalah apa yang dikatakan oleh Nabi: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan Laa Ilaha Illa Allah, apa yang dapat menjaga darah dan harta maka itulah hakekat tauhid”.[1]

                    Untuk menjaga kemurnian tauhid inilah, Imam Syafi’i juga mengingatkan secara keras dari segala bentuk kesyirikan yang dapat menodai kemurnian tauhid ini. Terlalu banyak contohnya, cukuplah akan saya nukil dua permasalahan saja sebagai contoh bukan untuk pembatasan: 

                    1. Fitnah Kuburan 

                    Ini adalah sebuah fitnah yang amat besar. Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Sumber penyembahan berhala adalah karena sikap berlebih-lebihan terhadap kuburan dan penghuninya”.[2]

                    Oleh karenanya, Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya membendung segala sarana yang dapat menjurus kepada kesyirikan dengan melarang berlebih-lebihan terhadap kuburan[3], seperti hadits:

                    عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الأَسَدِيِّ قَالَ :  قَالَ لِيْ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ : أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِيْ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
                    “Dari Abu Hayyaz al-Asadi berkata: “Ali bin Abi Thalib berkata padaku: Maukah saya mengutusmu seperti Rasulullah mengutusku? Jangan tinggalkan patung kecuali kamu menghancurkannya dan kuburan yang yang tinggi kecuali kamu meratakannya”.[4]
                     
                    عَنْ جَابِرٍ قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
                    “Dari Jabir berkata: Rasulullah melarang kuburan dikapur, diduduki dan di bangun di atasnya”.[5]

                    Demikian juga para ulama yang mengikuti petunjuk beliau, termasuk di antara mereka adalah Imam Syafi’i, beliau mengatakan:
                    وَأُحِبُّ أَنْ لاَ يُبْنَى وَلاَ يُجَصَّصَ, فَإِنَّ ذَلِكَ يُشْبِهُ الزِّيْنَةَ وَالْخُيَلاَءَ, وَلَيْسَ الْمَوْتَ مَوْضِعٌ وَاحِدٌ مِنْهُمَا وَلَمْ أَرَ قُبُوْرَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالأَنْصَارِ مُجَصَّصَةٌ … وَقَدْ رَأَيْتُ مِنَ الْوُلاَةِ مَنْ يَهْدِمُ بِمَكَّةَ مَا يُبْنَى فِيْهَا فَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيْبُوْنَ ذَلِكَ
                    “Saya suka agar kuburan itu tidak dibangun dan dikapur karena hal itu termasuk perhiasan dan kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan saya tidak mendapati kuburan orang-orang Muhajirin dan Anshor dibangun… Aku mendapati para imam di Mekkah memerintahkan dihancurkannya bangunan-bangunan (di atas kuburan) dan saya tidak mendapati para ulama mencela hal itu”.[6] 

                    Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kuburan tidak ditinggikan dari tanah dengan sangat tinggi, namun hanya ditinggikan seukuran satu hasta. Ini adalah madzhab Syafi’i dan yang sependapat dengannya”. Lalu beliau menukil ucapan Imam Syafi’i di atas dan menyetujuinya.[7] 

                    Al-Munawi berkata: “Mayoritas ulama Syafi’iyyah berfatwa tentang wajibnya menghancurkan segala bangunan di Qorofah (tempat pekuburan) sekalipun kubah Imam kita sendiri Asy-Syafi’i yang dibangun oleh sebagian penguasa”.[8]. 

                    2. Tabarruk (Ngalap Berkah) 

                    Sesungguhnya Tabarruk atau yang biasa disebut dengan ngalap berkah ada dua: 

                    - Tabarruk masyru’ yaitu tabarruk dengan hal-hal yang disyari’atkan seperti Al-Qur’an, air zam-zam, bulan ramadhan dan sebagainya. Akan tetapi tidak boleh bertabarruk dengan hal-hal tersebut kecuali seizin syari’at, sesuai petunjuk Nabi dan dengan niat bahwa hal itu hanyalah sebab, sedangkan yang memberikan barokah adalah Allah, sebagaimana kata Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam: 
                    الْبَرَكَةُ مِنَ اللهِ 
                    “Barokah itu (bersumber) dari Allah”.[9] 

                    - Tabarruk Mamnu’ yaitu tabarruk dengan hal-hal yang tidak disyari’atkan maka tidak boleh, seperti tabarruk dengan pohon, batu ajaib (!), kuburan, dzat kyai dan lain sebagainya.[10]

                    Simaklah ucapan Amirul mukminin Umar bin Khoththob tatkala berkata ketika mencium hajar aswad:
                    إِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ ، وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ 
                    Saya tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan bahaya atau manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menciummu maka saya tidak menciummu.[11]

                    Imam Ibnul Mulaqqin berkata mengomentari atsar di atas: “Ucapan ini merupakan pokok dan landasan yang sangat agung dalam masalah ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam sekalipun tidak mengetahui alasannya, serta meninggalkan ajaran Jahiliyyah berupa pegangungan terhadap patung dan batu, karena memang tidak ada yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya kecuali hanya Allah semata, sedangkan batu tidak bisa memberikan manfaat, lain halnya dengan keyakinan kaum Jahiliyyah terhadap patung-patung mereka, maka Umar ingin memberantas anggapan keliru tersebut yang masih menempel dalam benak manusia”.[12]

                    Jenis tabarruk ini telah diingkari secara keras oleh para ulama Syafi’iyyah. Menarik sekali dalam masalah ini apa yang dikisahkan bahwa tatkala ada berita sampai kepada telinga Imam Syafi’i bahwa sebagian orang ada yang bertabarruk dengan peci Imam Malik, maka serta merta beliau mengingkari perbuatan itu.[13]

                    Imam Nawawi berkata:
                    وَمَنْ خَطَرَ بِبَالِهِ أَنَّ الْمَسْحَ بِالْيَدِ وَنَحْوِهِ أَبْلَغُ فِي الْبَرَكَةِ فَهُوَ مِنْ جَهَالَتِهِ وَغَفْلَتِهِ لِأَنَّ الْبَرَكَةَ إِنَّمَا هِيَ فِيْمَا وَافَقَ الشَّرْعَ وَكَيْفَ يَنْبَغِي الْفَضْلَ فِيْ مُخَالَفَةِ الصَّوَابِ؟
                    “Barangsiapa yang terbesit dalam hatinya bahwa mengusap-ngusap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barokah maka hal itu menunjukkan kejahilannya dan kelalaiannya, karena barokah itu hanyalah yang sesuai dengan syari’at. Bagaimanakah mencari keutamaan dengan menyelisihi kebenaran?!”.[14]

                    Al-Ghozali juga berkata:
                    فَإِنَّ الْمَسَّ وَالتَّقْبِيْلَ لِلْمَشَاهِدِ عَادَةُ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى
                    “Sesungguhnya mengusap-ngusap dan menciumi kuburan merupakan adat istiadat kaum Yahudi dan Nashoro”.[15]

                    Demikianlah ketegasan para ulama Syafi’iyyah, lantas bandingkanlah hal ini dengan fakta yang ada pada kaum muslimin sekarang!!. 

                    Faedah: Kedustaan Kisah Imam Syafi’i Ngalap Berkah di Kuburan Imam Abu Hanifah

                    Adapun apa yang dinukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau mengatakan: “Saya ngalap berkah dengan Abu Hanifah. Aku mendatangi kuburannya setiap hari. Apabila aku ada hajat, maka aku pergi ke kuburannya, sholat dua rokaat dan berdoa di sisi kuburan Abu Hanifah,  lalu tak lama dari itu Allah mengabulkan do’aku”. [16]

                    Kisah ini adalah kedustaan yang amat nyata. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim berkata: “Ini adalah kedustaan yang sangat nyata bagi orang yang memiliki ilmu hadits… Orang yang menukil kisah ini hanyalah orang yang sedikit ilmu dan agamanya”. [17]

                    Ibnu Qoyyim juga berkata: “Kisah ini termasuk kedustaan yang sangat nyata”.[18]

                    Dalam kitab Tab’id Syaithon dijelaskan: “Adapun cerita yang dinukil dari Syafi’i bahwa beliau biasa pergi ke kuburan Abu Hanifah, maka itu adalah kisah dusta yang amat nyata”.[19]

                    Kisah ini dijadikan dalil oleh sebagian kalangan untuk melegalkan ngalap berkah yang tidak disyari’atkan[20] seperti ngalap berkah kepada kuburan-kubran orang shalih, padahal banyak bukti yang menguatkan kedustaan kisah ini, yaitu sebagai berikut.
                    1. Imam Syafi’i tatkala datang ke Baghdad, tidak ada di sana kuburan yang biasa didatangi untuk berdoa di sisinya.
                    2. Imam Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq dan Mesir kuburan-kuburan para Nabi, sahabat dan tabi’in yang tentunya mereka lebih utama daripada Abu Hanifah. Lantas, kenapa hanya pergi ke kuburan Abu Hanifah saja?
                    3. Imam Syafi’i telah menegaskan dalam Al-Umm 1/278 bahwa beliau membenci pengagungan kubur karena khawatir fitnah dan kesesatan. Maksud beliau dengan pengagungan yaitu sholat di sana atau berdoa di sisinya.[21]
                    4. Hal yang menguatkan bathilnya kisah ini adalah pengingkaran Imam Abu Hanifah terhadap meminta-minta kepada selain Allah. Dalam kitab Ad-Durr Al-Mukhtar dan kitab-kitab Hanafiyyah sering dinukil ucapan Imam Abu Hanifah: “Saya membenci seorang meminta kecuali hanya kepada Allah”. “Tidak boleh bagi seorangpun untuk meminta Allah kecuali dengan-Nya saja”. Dan tidak ragu lagi bahwa Imam Syafi’i mengetahui bahwa ini adalah pendapat Abu Hanifah dalam masalah tawassul. Lantas, bagaimana mungkin beliau bertawassul kepadanya padahal dia tahu bahwa Abu Hanifah membenci dan mengharamkannya? Ini tidak masuk akal sama sekali. Bahkan hal itu akan membuat murka Imam Abu Hanifah. Semua itu adalah mustahil dan kedua Imam ini berlepas diri dari kisah dusta ini. Namun, apa yang kita katakan kepada para pendusta?! Hanya kepada Allah kita mengadu. Ya Allah, kami berlepas diri dari apa yang mereka perbuat.[22]
                    Setelah itu, maka janganlah engkau dengarkan apa yang dikatakan oleh al-Kautsari bahwa sanad kisah ini adalah shohih[23], karena ini termasuk kesalahannya.
                    Demikianlah dua contoh saja, masih banyak sebenarnya contoh-contoh lainnya yang menunjukkan kegigihan Imam Syafi’i dalam menjaga tauhid dan memberantas kesyirikan.[24]



                    [1] Siyar A’lam Nubala 3/3282 oleh adz-Dzahabi.
                    [2] Al-Bidayah wa Nihayah 5/703.
                    [3] Lihat bid’ah-bid’ah kuburan secara bagus dalam kitab Bida’ul Qubur Anwa’uha wa Ahkamuha oleh Syaikh Shalih bin Muqbil al-‘Ushaimi. Dan lihat masalah kuburan di masjid secara bagus dalam Syarh Shudur fi Tahrimi Rof’il Qubur oleh asy-Syaukani dan Tahdzir Sajid ‘an Ittihodzil Qubur  Masajid oleh Syaikh al-Albani.
                    [4] HR. Muslim: 2239.
                    [5] HR. Muslim: 2240.
                    [6] Al-Umm 1/277.
                    [7] Syarah Shahih Muslim 7/40-41.
                    [8] Faidhul Qodir 6/309.
                    [9] HR. Bukhori 3579.
                    [10] Lihat masalah tabarruk secara luas dan bagus dalam kitab “At-Tabarruk Anwa’uhu waa Ahkamuhu” oleh DR. Nashir bin Abdirrahman al-Judai’.
                    [11] HR. Bukhori 1597 dan Muslim 1270.
                    [12] Al-I’lam bi Fawa’id Umadatil Ahkam 6/190. Lihat komentar indah para ulama madzhab Syafi’i lainnya tentang atsar ini dalam Juhud Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhidil Ibadah oleh DR. Abdullah al-’Anquri hlm. 582-584.
                    [13] Lihat Manaqib Syafi’i 1/508 oleh al-Baihaqi dan Syarh Arba’in Al-‘Ajluniyyah hlm. 262-263 oleh Syaikh Jamaluddin al-Qosimi.
                    [14] Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 8/275.
                    [15] Ihya’ Ulumuddin 1/271.
                    [16] Kisah ini dicantumkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad 1/123 dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrahim dari Ali bin Maimun dari asy-Syafi’i. Riwayat ini adalah lemah, bahkan bathil, karena Umar bin Ishaq tidaklah dikenal dan tidak disebutkan dalam kitab-kitab perawi hadits. (Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 1/78 oleh al-Albani).
                    [17] Iqtidho’ Shirthil Mustaqim 2/685-686.
                    [18] Ighotsatul Lahfan 1/399.
                    [19] At-Tawashul Ila Haqiqoti Tawassul hlm. 339-340.
                    [20] Persis dengan kisah ini juga kisah tentang tabarruknya Imam Syafi’i dengan bajunya Imam Ahmad bin Hanbal. Kisah ini dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal hlm. 609-610. Dan kisah ini adalah kisah yang tidak shohih. (Lihat Siyar A’lam Nubala’ 12/587-588 oleh adz-Dzahabi, At-Tabarruk hlm. 386-387 oleh Dr. Nashir al-Juda’I, Qoshoshun Laa Tatsbutu 4/85-90 oleh Yusuf al-‘Atiq).
                    [21] Lihat Iqtidho’ Shirathil Mustaqim 2/686 oleh Ibnu Taimiyyah dan At-Tabarruk hlm. 345 oleh Dr. Nashir al-Judai’.
                    [22] Qoshoshun Laa Tatsbutu 2/85-86 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman.
                    [23] Maqolat Al-Kautsari hlm. 381.
                    [24] Lihat secara luas masalah ini dalam Juhud Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhid Ibadah oleh Dr. Abdullah al-‘Unquri, Bayanu Syirki ‘Inda Ulama Syafi’iyyah oleh Dr. Abdurrahman al-Khumais, Imam Syafi’i Menggugat Syirik oleh akhuna al-Fadhil al-Ustadz Abdullah Zaen.

                    • Tauhid Asma’ wa Shifat
                    Tauhid asma wa shifat adalah mengimani nama dan sifat Allah yang telah disebutkan Al-Qur’an dan hadits yang shohih tanpa tahrif (pengubahan), ta’thil (pengingkaran), takyif (membagaimanakan), maupun tamtsil (penyerupaan).

                    Imam Syafi’i berkata:
                    نُثْبِتُ هَذِهِ الصِّفَاتِ الَّتِي جَاءَ بِهَا الْقُرْآنُ, وَوَرَدَتْ بِهَا السُّنَّةُ، وَنَنْفِي التَّشْبِيْهَ عَنْهُ كَمَا نَفَى عَنْ نَفْسِهِ، فَقَالَ: (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ) [ الشورى: 11.]
                    “Kita menetapkan sifat-sifat ini yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan  As-Sunnah dan kita juga meniadakan penyerupaan sebagaimana Alloh meniadakan penyerupaan tersebut dari diri-Nya dalam firmanNya (yang artinya) : Tidak ada sesuatupun yang serupa dengannya”.(QS.Asy-Syuro: 11).[1]

                    Imam Syafi’i juga berkata:
                    آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ, وَآمَنْتُ بِرَسُوْلِ اللهِ وَمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ
                    “Saya beriman kepada Allah dan apa yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Dan saya beriman kepada Rasulullah dan apa yang datang dari Rasulullah sesuai maksud Rasulullah”.[2]

                    Imam Ahmad bin Abdul Halim berkata: “Apa yang dikatakan oleh Syafi’i ini adalah kebenaran yang wajib bagi setiap muslim untuk meyakininya. Barangsiapa yang meyakininya dan tidak menentangnya maka dia telah menempuh jalan keselamatan di dunia dan akherat”.[3]

                    Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dalam ucapan Imam Syafi’i ini terdapat bantahan bagi ahli takwil (memalingkan arti) dan ahli tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk) karena keduanya tidak mengimani apa yang datang dari Allah dan rasulNya karena ahli takwil mengurangi dan ahli tamtsil menambah”.[4]

                    Imam Ibnu Katsir berkata: “Dan telah diriwayatkan dari Ar-Robi’ (seorang murid senior Imam Syafi’i) dan beberapa sahabat seniornya yang menunjukkan bahwasannya beliau (Imam Syafi’i) menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits (yang menyebutkan) sifat-sifat Alloh seperti apa adanya tanpa takyif (membagaimanakan), tasybih (penyerupaan), ta’thil (pengingkaran) maupun tahrif (pengubahan) sesuai dengan metode salaf”.[5]

                    Imam Ibnu Katsir mengatakan ketika menafsirkan ayat istiwa dalam surat Al-A’rof: 54:
                    “Manusia dalam menyikapi masalah ini memiliki banyak pendapat, bukan di sini tempat untuk memaparkannya, hanya saja ditempuh dalam masalah ini jalan salaf shalih, Malik, al-Auza’i, Tsauri, Laits bin Sa’ad, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rohawaih dan selain mereka dari para imam kaum muslimin dahulu hingga sekarang yaitu menjalankannya sebagaimana datangnya tanpa takyif (membagaimanakan), tasybih (penyerupaan), ta’thil (pengingkaran). Apa yang terlintas dalam benak orang-orang yang menyerupakan harus dibesihkan dari Allah karena Allah tidak ada yang menyerupaiNya sesuatupun, bahkan sebagaimana kata para imam –diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad guru Imam Bukhori- : “Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhlukNya maka kafir dan barangsiapa yang mengingkari sifat Allah yang ditetapkan maka kafir dan tidaklah menetapkan apa yang Allah sifatkan pada diriNya dan juga Rasulullah merupakan suatu penyerupaan”. Barangsiapa menetapkan ayat-ayat dan hadits shohih bagi Allah sesuai dengan kebesaran Allah dan mensucikan Allah dari segala cacat maka dia telah menempuh jalan petunjuk”.[6]

                    Berikut ini kita ambil dua contoh aqidah Imam Syafi’i dalam masalah ini: 

                    1. Sifat Tinggi 

                    Imam Syafi’i meyakini ketinggian Allah di atas Arsy-Nya. Imam al-Baihaqi berkata setelah membawakan dalil-dalil yang banyak tentang masalah ini: “Atsar-atsar salaf tentang hal ini sangat banyak sekali. Dan inilah madzhab dan keyakinan Imam Syafi’i”.[7]

                    Imam Syafi’i berdalil dengan hadits Mu’awiyah bin Hakam dalam beberapa kitabnya. Di antaranya beliau berkata:

                    وَأُحِبُّ  إِلَى أَنْ لاَ يَعْتِقَ إِلاَّ باَلِغَةً مُؤْمِنَةً, فَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الإِسْلاَمَ أَجْزَأَتْهُ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِلاَلٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم (أَيْنَ اللهُ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ أَنَا؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ, قَالَ : (فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).

                    Saya suka agar tidak memerdekakan budak kecuali budak yang sudah baligh dan mukminah. Seandainya dia non arab kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi. Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal bin Usamah dari Atho’ bin Yasar dari Umar bin Hakam[8] berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.[9]

                    Imam Ad-Dzahabi berkata:
                    فَفِيْ الْخَبَرِ مَسْأَلَتَانِ: إِحْدَاهُمَا: مَشْرُوْعِيَّةُ قَوْلِ الْمُسْلِمِ أَيْنَ اللهُ؟ وَثَانِيْهَا: قَوْلُ الْمَسْؤُوْلِ: فِيْ السَّمَاءِ. فَمَنْ أَنْكَرَ هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَإِنَّمَا يُنْكِرُ عَلَى الْمُصْطَفَى صلى الله عليه وسلم
                    Dalam hadits ini terdapat dua masalah:
                    - Pertama: Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Dimana Allah?[10]
                    - Kedua: Jawaban orang yang ditanya: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi”[11].

                    Mari kita renungi ucapan berikut:
                    قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ أَلْفُ دَلِيْلٍ أَوْ أَزْيَدُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ
                    “Sebagian kawan senior Syafi’i mengatakan: “Dalam Al-Qur’an terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas makhluk dan Allah di atas hambaNya”.[12]. 

                    2. Sifat Turun 

                    الْقَوْلُ فِي السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا عَلَيْهَا أَهْلَ الْحَدِيْثِ الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ  وَأَخَذْتُ عَنْهُمْ مِثْلَ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَيَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ.
                    “Pendapat dalam sunnah[13] (aqidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawanku ahli hadits yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas Arsy-Nya di langitNya dekat dengan para hambaNya sekehandak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendakNya”.[14]

                    Aqidah beliau ini berdasarkan hadits yang mutawatir tentang sifat turunnya Allah:
                    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ
                    Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [15].

                    Demikianlah metode Imam Syafi’i dalam aqidah asma’ wa shifat, beliau menetapkan setiap nama dan shifat yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi yang shohih. Maka perluaslah kaidah ini dalam masalah-masalah lainnya yang serupa.[16] Dan perlu kita ingat bahwa bahasa dan sastra Imam Syafi’i adalah tinggi dan hujjah sebagaimana diakui oleh para pakar bahasa Arab[17], namun sekalipun demikian kita tidak mendapati beliau merubah dan memalingkan makna ayat dan hadits dari dhohirnya tanpa dalil. Maka fikirkanlah!!.
                     


                    [1] Thobaqot Hanabilah 1/283-284 oleh Al-Qodhi Ibnu Abi Ya’la, Siyar A’lam Nubala 3/3293 oleh adz-Dzahabi, Manaqib Aimmah Arbaah hlm. 121 oleh Ibnu Abdil Hadi, I’tiqad Imam Syafi’i hlm. 21 oleh al-Hakkari, Dan kitab aqidah Imam Syafi’i karya al-Hakkari ini betul-betul sah dari Imam Syafi’i. Barangsiapa yang menyangka bahwa penisbatan aqidah ini tidak sah maka dia salah. (Lihat Qa’idah Muhimmah Fima Dhohiruhu Ta’wil Min Sifat Robb hlm. 27 oleh Syaikh ‘Amr bin Abdul Mun’im).
                    [2] Dibawakan oleh Ibnu Qudamah dalam Dzammu Ta’wil hlm. 9 dan Lum’atul I’tiqod hlm. 36 –Syarh Ibnu Utsaimin-
                    [3] Ar-Risalah Al-Madaniyyah –Majmu Fatawa- 6/354.
                    [4] Syarh Lum’atil I’tiqod hlm. 37.
                    [5] Al-Bidayah wan Nihayah 5/694.
                    [6] Tafsir Al-Qur’anil Azhim 3/426-427.
                    [7] Al-Asma wa Shifat 1/517.
                    [8] Dalam sanad imam Malik tertulis “Umar bin Hakam” sebagai ganti dari “Mu’awiyah bin Hakam”. Para ulama’ menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan imam Malik. Imam As-Syafi’i berkata -setelah meriwayatkan hadits ini dari imam Malik- : “Yang benar adalah Mua’wiyah bin Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya”. (Ar-Risalah hlm. 7-8)
                    Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Demikianlah perkataan Malik dalam hadits ini dari Hilal dari Atha’ dari  Umar bin Hakam. Para perawi darinya (Malik) tidak berselisih dalam hal itu. Tetapi hal ini termasuk kesalahan beliau (Malik) menurut seluruh ahli hadits karena tidak ada sahabat yang bernama Umar bin Hakam, yang ada adalah Mu’awiyah (bin Hakam). Demikianlah riwayat seluruh orang yang meriwayatkan hadits ini dari Hilal. Mua’wiyah bin Hakam termasuk dari kalangan sahabat yang terkenal dan hadits ini juga masyhur darinya. Diantara ulama’ yang menegaskan bahwa Malik keliru dalam hal itu adalah Al-Bazzar, At-Thahawi dan selainnya”. (At-Tamhid 9/67-68 dan lihat pula Syarh Az-Zurqani (4/106) dan Tanwir Hawalik (2/140) oleh as-Suyuthi).
                    [9] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Juz’ul Qiro’ah hlm. 70, Muslim dalam Shahihnya 537, Ahmad 5/448, Malik dalam Al-Muwatho’ 2/772, asy-Syafi’i dalam Ar-Risalah no. 242 dll. Lihat takhrij secara luas tentang hadits ini, komentar ulama ahli hadits tentangnya dan pembelaan ulama terhadanya dalam buku “Di Mana Allah? Oleh Ust. Abu Ubaidah, hlm. 53-62. Lihat pula kitab khusus tentang hadits ini yaitu Ainallah? Difa’ an hadits Jariyah oleh Salim al-Hilali dan Takhilul Ainain bi Jawaz Su’al Ainallah bil’ Ain oleh Dr. Shaodiq bin Salim.
                    [10] Imam Abdul Ghoni al-Maqdisi berkata: “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya di Mana Allah setelah ketegasan Rasulullah yang bertanya Di Mana Allah?! (Al-Iqtishod fil I’tiqod hlm. 89 dan Tadzkirotul Mu’tasi hlm. 89-90 Syarh Dr. Abdurrozzaq al-Badr).
                    [11] Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Adzim (hal. 81 -Mukhtasar Al-Albani-)
                    [12] Majmu’ Fatawa 1/121, Bayanu Talbis Jahmiyyah 1/555.
                    [13] Dari ucapan ini dapat dipetik faedah bahwa istilah sunnah sering digunakan oleh salaf bermakna aqidah, sebagaimana istilah ahli hadits merupakan istilah yang sudah popular pada mereka yang semakna dengan istilah Ahli Sunnah wal Jama’ah. Oleh karenanya, maka hendaknya bagi kita untuk menghidupkan nama ini, khususnya bagi kalangan para penuntut ilmu dan sejenis mereka. (Aqidah Imam Syafi’i -Jam’ul Funun- 2/12 oleh Dr. Muhammad bin Abdirrahman al-Khumais).
                    [14] Diriwayatkan oleh Syaikhul Islam al-Hakari dalam I’tiqod Imam Syafi’i hlm. 17, Abu Muhammad al-Maqdisi sebagaimana dalam Mukhtashor Al-Uluw hlm. 176. Dan disebutkan juga oleh Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah dalam Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 122, Ibnu Qudamah dalam Itsbat Shifatil Uluw hlm. 124 dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 4/181-183.
                    [15] HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.
                    [16] Lihat secara luas Manhaj Imam Syafi’i fi Itsbatil Aqidah oleh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab al-‘Aqil, I’tiqad Imam Syafi’i oleh al-Hakari, Aqidah Imam Syafi’i oleh Dr. Abdurrahman al-Khumais.
                    [17] Lihat Manaqib Syafi’i 2/41-59 oleh al-Baihaqi dan Tawali Ta’sis hlm. 96-97. 


                    PRINSIP KEEMPAT 
                    Mengagungkan Sunnah dan Memerangi Bid’ah

                    • Imam Syafi’i Sangat Mengagungkan Sunnah
                    Dan Imam Syafi’i termasuk ulama yang dikenal sangat semangat dalam mengagungkan Sunnah Nabi sebagaimana pujian para ulama kepada beliau.

                    Imam Ahmad berkata: “Saya tidak melihat seorangpun yang lebih semangat dalam mengikuti sunnah daripada Imam Syafi’i”.[1]

                    Imam Al-Baihaqi membuat satu bab pembahasan dengan judul “Keterangan yang membuktikan baiknya madzhab Syafi’i dalam mengikuti Sunnah dan menjauhi bid’ah”.[2]

                    Imam adz-Dzahabi berkata memuji beliau: “Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang sangat kuat dalam berpegang teguh terhadap Sunnah Rasulullah, baik dalam masalah aqidah maupun cabang agama”.[3]

                    Banyak sekali bukti dari Imam Syafi’i tentang pengagungan beliau terhadap sunnah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam. Cukuplah sebagai contoh petuah beliau:
                    لاَ يَجْمُلُ الْعِلْمُ وَلاَ يَحْسُنُ إِلاَّ بِثَلاَثِ خِلاَلٍ : تَقْوَى اللهِ وَإِصَابَةِ السُّنَّةِ وَالْخَشْيَةُ
                    “Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara: Taqwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah dan rasa takut”.[4] 

                    • Imam Syafi’i Menanamkan Tunduk Terhadap Sunnah
                      Imam Syafi’i berkata:
                      لَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا نَسَبَهُ النَّاسُ أَوْ نَسَبَ نَفْسَهُ إِلَى عِلْمٍ يُخَالِفُ فِيْ أَنَّ فَرْضَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اتِّبَاعُ أَمْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالتَّسْلِيْمُ لِحُكْمِهِ
                      “Saya tidak mendengar seorangpun yang dianggap manusia atau dia menganggap dirinya berilmu berselisih pendapat bahwa di antara kewajiban dari Allah adalah mengikuti dan mencontoh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dan pasrah terhadap hukumnya”.[5]. 

                      • Imam Syafi’i Mengimani Kesempurnaan Islam
                        Di antara nikmat terbesar yang Alloh anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana dalam firmanNya:
                        [ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا]
                        Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS. al-Maidah [5]: 3)

                        Imam Ibnu Katsir berkata: “Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar kepada umat ini, dimana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya dan Nabi selain Nabi mereka. Oleh karena itulah, Allah menjadikannya sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada Jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang dia haramkan, tidak ada agama selain apa yang dia syari’atkan, dan setiap apa yang dia beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya”.[6]

                        Dengan sempurnanya Islam, maka segala perbuatan bid’ah dalam agama berarti suatu kelancangan terhadap syari’at dan ralat terhadap pembuat syari’at bahwa masih ada permasalahan yang belum dijelaskan. Imam Malik bin Anas rahimahullah mengeluarkan perkataan emas tentang ayat ini. Beliau berkata:

                        مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
                        Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik (bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena Alloh Subhanahu wa ta'ala berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.” Maka apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk agama.[7]

                        Camkanlah baik-baik perkataan berharga dari Imam yang mulia ini, niscaya anda akan mengetahui betapa bahayanya perkara bid’ah dalam agama.

                        Demikian juga Imam Syafi’i, beliau sangat meyakini akan kesempurnaan agama Islam. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala mengatakan:
                        فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ فِيْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللهِ نَازِلَةٌ إِلاَّ وَفِيْ كِتَابِ اللهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا
                        “Tidak ada suatu masalah baru-pun yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan agama kecuali dalam Al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya”.[8]

                        Kemudian Imam Syafi’i membawakan beberapa dalil untuk menguatkan ucapannya di atas, di antaranya adalah firman Allah dalam surat an-Nahl: 89:
                        وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيداً عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيداً عَلَى هَـؤُلاء وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
                        Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89).



                        [1]  Manaqib Syafi’i 1/471 oleh al-Baihaqi.
                        [2]  Manaqib Syafi’i 1/471.
                        [3]  Mukhtashor Al-Uluw hlm. 177.
                        [4] Manaqib Syafi’i 1/470 oleh al-Baihaqi.
                        [5] Jima’ul Ilmi hlm. 11.
                        [6] Tafsir Al-Qur’anil Azhim 3/23.
                        [7] Al-I’tisham 1/64-65 Imam Syatibi, tahqiq Salim al-Hilali.
                        [8]  Ar-Risalah hlm. 20. 

                        • Imam Syafi’i Pembaharu Agama 
                        Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam telah menginformasikan bahwa akan senantiasa ada sebagian kelompok kaum muslimin yang memperbaharui agama, beliau Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
                          إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ إِلَى هَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا
                          “Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini pada setiap seratus tahun orang yang memperbaharui agamaNya”.[1]

                          Al-Munawi berkata: “Makna “memperbaharui agama” yaitu menjelaskan dan membedakan antara perkara sunnah dan bid’ah, menyebarkan ilmu agama, membela ahli ilmu dan membantah ahli bid’ah, hal itu tidak bisa terwujudkan kecuali bagi seorang yang alim tentang agama. Ibnu Katsir mengatakan: “Setiap kaum mengaku bahwa imam mereka adalah yang dimaksud oleh hadits ini, tetapi nampaknya hadits ini mencakup seluruh ulama pada setiap bidang, baik tafsir, hadits, fiqih, nahwu, bahasa dan sebagainya”.[2]

                          Jadi makna pembaharu agama adalah seorang yang berilmu tentang Islam yang menghidupkan Al-Kitab dan As-Sunnah, menghancurkan kesyirikan dan kebid’ahan, dan menghidupkan tauhid dan sunnah, mematikan kebodohan agama dan menghidupkan ilmu agama[3].

                          Dan tidak diragukan lagi bahwa di antara para pembaharu agama tersebut adalah Imam Syafi’i yang telah berjuang menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Hal itu terbukti dengan beberapa alasan:
                          1. Keilmuan Imam Syafi’i telah diakui oleh para ulama sezamannya dan sesudahnya sampai hari ini, bahkan sebagiannya adalah gurunya sendiri seperti Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah dan lain-lainnya.
                          2. Persaksian para Imam Ahlus Sunnah, di antaranya adalah persaksian Al-Imam Ahmad yang mengatakan tentang hadits pembaharu agama. Al-Imam Ahmad berkata: “Umar bin Abdul Aziz pada awal seratus tahun pertama dan Asy-Syafi’i pada permulaan seratus tahun yang kedua”.[4]
                          3. Banyak sekali tajdid (pembaharuan) yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam berbagai cabang disiplin ilmu Islam, di antaranya beliau mengajak Umat untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman salaful ummah. Beliau juga menghidupkan berbagai macam ilmu Al-Qur’an, hadits, fiqih, ushul fiqih dan lain sebagainya.[5]
                           
                          • Imam Syafi’i Membenci Bid’ah
                          Imam Syafi’i termasuk tokoh ulama yang sangat anti dari kebid’ahan. Sungguh, telah popular kedudukan dan keadaan beliau yang sangat semangat dalam mengikuti sunnah dan sering memperingatkan dari bahaya bid’ah, bahkan termasuk wasiat beliau adalah perintah untuk mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah dan hawa nafsu”.[6]

                          Hal ini juga diakui oleh para ulama. Muhammad bin Dawud berkata: “Tidak pernah diketahui dalam perjalanan hidup Syafi’i bahwa beliau pernah berbicara agama dengan hawa nafsu atau dinisbatkan kepadanya, bahkan beliau dikenal sangat benci terhadap ahli kalam dan ahli bid’ah”.[7]

                          Dawud bin Ali al-Ashbahani berkata: “Terkumpul pada diri Syafi’i keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh lainnya, di antaranya adalah nasab dia yang sampai kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, kebagusan agama dan keselamatannya dari hawa nafsu dan kebid’ahan”.[8] Sahnun juga berkata: “Tidak ada pada Imam Syafi’i kebid’ahan”.[9]

                          Imam Ibnu Nashr Al-Maqdisi berkata tatkala menceritakan keadaan Imam Syafi’i dan keluasan ilmunya: “Tidaklah beliau menukil dari seorang salaf-pun atau dari seorang ulama yang sezaman dengannya suatu macam kebid’ahan, atau meyakininya atau mencampur dengan ilmunya, bahkan beliau melarang dan mencela semua itu”.[10]

                          Imam Syafi’i mengatakan:
                          وَأُوْصِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلُزُوْمِ السُّنَّةِ وَالآثَارِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ –عَلَيْهِ السَّلاَمُ- وَأَصْحَابِهِ، وَتَرْكِ الْبِدَعِ وَالأَهْوَاءِ وَاجْتِنَابِهَا
                          “Saya wasiatkan dengan taqwa kepada Allah dan berpegang taguh dengan sunnah dan hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, serta meninggalkan dan menjauhi hawa kebid’ahan dan hafa nafsu”.[11]

                          إِنَّمَا الاسْتِحْسَانُ تَلَذُّذٌ
                          “Sesungguhnya istihsan itu hanyalah mencicipi saja/mencari kelezatan”.[12]

                          مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
                          “Barangsiapa yang istihsan maka ia telah membuat syari’at”.[13]

                          Ar-Ruyani berkata: “Maksudnya adalah ia menetapkan suatu syariat yang tidak syar’i dari pribadinya sendiri”.[14]

                          Imam Syafi’i juga menulis sebuah kitab berjudul “Ibthol Istihsan” (Menghancurkan Istihsan).[15] Yang dimaksud dengan istihsan di sini adalah menganggap baik suatu perkata tanpa dalil Al-Qur’an, hadits, ijma’ atau qiyas, karena orang yang melakukan hal itu berarti dia telah membuat suatu syari’at tentang hukum tersebut dan tidak mengambilnya dari dalil-dalil syari’at.[16]

                          Demikian pula para ulama madzhab Syafi’iyyah, mereka sangat keras melarang dan mengingkari kebid’ahan bahkan mereka menulis karya-karya khusus yang membantah kebid’ahan.[17]


                          [1] HR. Abu Dawud 4291 dan al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/522, ath-Thabarani dalam Al-Ausath 6527, al-Baihaqi dalam Ma’rifah Sunan wal Atsar 1/137, al-Harawi dalam Dzammul Kalam 1108. Hadits ini dikuatkan al-Hafizh al-‘Iraqi sebagaimana dalam Faidhul Qadir 2/282, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tawali Ta’sis hal. 48,  as-Sakhawi dalam Al-Maqashidul Hasanah hal. 203, al-Albani dalam Ash-Shahihah 2/123, bahkan al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam At-Tanbi’ah Fiima Yab’atsuhullah Ala Ra’si Kulli Sanah hal. 19: “Para ulama sepakat bahwa hadits ini shahih”.  Lihat pula keterangan hadits ini secara luas dari segi sanad dan matan dalam Irsyadul Fuhul Ila Tahrir Nuqul hlm. 285-305 oleh Syaikh Salim bin I’ed al-Hilali.
                          [2] Faidhul Qadir Syarh Jami’u Saghir 2/281-282
                          [3] Lihat Irsyadul Fuhul Ila Tahrir Nuqul hlm. 298 oleh Salim al-Hilali dan Mafhum Tajdid Baina Sunnah nabawiyyah wa Baina Ad’iya Tajdid Al-Mu’ashirin hlm. 4 oleh Dr. Mahmud ath-Thohhan.
                          [4] Tawali Ta’sis hlm. 48 oleh Ibnu Hajar.
                          [5]  Lihat kata pengantar Ustadzuna Al-Fadhil Abdul Hakim bin Amir Abdat terhadap buku “Wasiat dan Prinsip Imam Syafi’i Tentang Taklid Buta dan Fanatisme Madzhab” hlm. 11-17 oleh akhuna Ibnu Saini.
                          [6]  Muqoddimah Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais terhadap Aqidah Syafi’i oleh al-Barzanji hlm. 52.
                          [7] Siyar A’lam Nubala 10/26 oleh adz-Dzahabi.
                          [8]  Tawali Ta’sis hlm. 102 oleh Ibnu Hajar.
                          [9]  Siyar A’lam Nubala 10/95 oleh adz-Dzahabi.
                          [10]  Al-Hujjah ala Tarikil Mahajjah 1/180, Lihat pula  Iljam Awam ‘an Ilmi Kalam hlm. 90 oleh al-Ghozali dan Inarotul Fikr hlm. 32 oleh al-Biqo’i. (Dinukil dari disertasi Dr. Ustadz Muhammad Nur Ihsan yang berjudul Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bida’ hlm. 255).
                          [11]  Wasiyatul Imam Syafi’i hlm. 47-48,  I’tiqad Imam Syafi’i hlm. 16 oleh al-Hakari, Al-Amru bil Ittiba’ hlm. 313 oleh as-Suyuthi dan Aqidah Syafi’i oleh al-Barzanji hlm. 93,  Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bida’ hlm. 97 oleh Dr. Muhammad Nur Ihsan.
                          [12] Ar-Risalah hlm. 507.
                          [13] Ucapan ini populer dari Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh para imam madzhab Syafi’i seperti al-Ghozali dalam al-Mankhul hlm. 374 dan al-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’ 2/395 dan lain sebagainya. (Lihat Ilmu Ushul Bida’ hlm. 121 oleh Syaikhuna Ali Hasan al-Halabi).
                          [14] Disebutkan oleh asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul hlm. 787 dan az-Zarkasyi dalam Al-Bahrul Muhith 2/230.
                          [15] Sebagaimana dalam Al-Umm 7/293.
                          [16]  Taisir Al-Wushul Ila Qowaid Ushul hlm. 328 oleh Abdullah al-Fauzan. Lihat pula tulisan “Al-Istihsan Baina Muayyidihi wa Mu’aridhihi” oleh Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dimuat dalam Majalah Al-Hikmah hlm. 145- 146, edisi 4, Jumadil Awal 1415 H.
                          [17]  Lihat secara detail dalam Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bid’a hlm. 103-130 oleh akhuna al-Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, MA.

                          • Adakah Bid’ah Hasanah Menurut Imam Syafi’i? 
                          Adapun dalil-dalil yang dijadikan oleh orang-orang yang melegalkan bid’ah hasanah, semuanya adalah rapuh[1], di antara syubhat yang mereka bawakan adalah ucapan Imam Syafi’i:

                          الْمُحْدَثَاتُ مِنَ الأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ ضَلاَلَةٌ، وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ، قَدْ قَالَ عُمَرُ فِِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ، يَعْنِي أَنَّهَا مُحْدَثَةٌ لَمْ تَكُنْ، وَإِذَا كَانَتْ فَلَيْسَ فِيْهَا رَدٌّ لِمَا مَضَى.
                          “Perkara yang baru itu ada dua macam: Perkara baru yang menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, atsar dan ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Adapun perkara baru dari kebaikan yang tidak menyelisihi salah satu dari ini maka tidaklah tercela. Umar mengatakan tentang terawih pada bulan Romadhon: Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni dia termasuk perkara baru tetapi tidak menyelisihi hal-hal tadi”.[2]

                          Dalam redaksi lainnya, diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata:
                          الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ, فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ, وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
                          “Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan yang tercela: Apabila sesuai dengan sunnah maka terpuji dan apabila menyelisihi sunnah maka tercela. Dan beliau berdalil dengan ucapan Umar tentang tarawih Romadhan: Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[3] 

                          Jawaban:
                          Ucapan Imam Syafi’i di atas tidak bisa untuk mendukung adanya bid’ah hasanah seperti maksud orang-orang belakangan. Keterangannya sebagai berikut:
                          • Ucapan Imam Syafi’i di atas masih dipertanyakan tentang keshohihannya. Dan anggaplah shohih tetap tidak bisa untuk melawan atau mengkhususkan keumuman hadits Nabi di atas. Imam Syafi’i sendiri berkata:
                            وَكَذَلِكَ يَنْبَغِيْ لِمَنْ سَمِعَ الْحَدِيْثَ أَنْ يَقُوْلَ بِهِ عَلَى عُمُوْمِهِ وَجُمْلَتِهِ حَتَّى يَجِدَ دَلاَلَةً يُفَرِّقُ بِهَا فِيْهِ بَيْنَهُ
                            “Hendaknya bagi seorang yang mendengarkan hadits untuk mengamalkannya secara umum sampai mendapati dalil yang mengkhususkannya.[4]
                            • Bagaimana Imam Syafi’i mengatakan bid’ah hasanah, padahal beliau adalah seorang Imam yang dikenal mengagungkan Sunnah dan memerangi bid’ah dan ahlinya sebagaimana telah kami paparkan sebagiannya. Oleh karenanya, barangsiapa yang hendak menafsirkan ucapan Imam Syafi’i, maka dia harus memahami kaidah-kaidah Imam Syafi’i. Hal ini merupakan suatu hal yang popular dalam suatu bidang. Imam Syafi’i sendiri berkata:
                              لاَ يَجْمُلُ الْعِلْمُ وَلاَ يَحْسُنُ إِلاَّ بِثَلاَثِ خِلاَلٍ : تَقْوَى اللهِ وَإِصَابَةِ السُّنَّةِ وَالْخَشْيَةُ
                              “Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara: Taqwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah dan rasa takut”.[5]

                              Jadi beliau mensyaratkan dalam setiap ucapan beliau agar “sesuai dengan sunnah” Dan sebagaimana dimaklumi bersama bahwa bid’ah adalah lawan kata sunnah. Lantas, bagaimana suatu bid’ah dikatakan baik jika pada dasarnya saja sudah menyelisihi sunnah Nabi?!![6]
                              • Kalau kita perhatikan ucapan Imam Syafi’i di atas secara teliti, maka maksud ucapan beliau dengan bid’ah yang terpuji adalah bid’ah secara bahasa, bukan bid’ah secara istilah. Dengan bukti, bahwa setiap bid’ah secara istilah adalah menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan Imam Syafi’i mensyaratkan bid’ah yang terpuji adalah bid’ah yang tidak menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, padahal setiap bid’ah dalam istilah itu pasti menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Al-Hafizh Ibnu Rojab menjelaskan bahwa maksud Imam Syafi’i dengan ucapannya di atas adalah bid’ah secara bahasa.[7]
                                Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Ulama yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan sesat maksudnya adalah dari segi bahasa, sedangkan ulama yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat maksudnya adalah bid’ah secara istilah”.[8]
                                • Hal yang memperkuat bahwa maksud ucapan Imam Syafi’i di atas adalah bid’ah secara bahasa adalah pendalilan beliau dengan ucapan Umar bin Khothob tentang sholat tarawih secara berjama’ah “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” padahal shalat tarawih berjama’ah bukanlah bid’ah karena pernah dilakukan oleh Nabi, hanya saja beliau meninggalkannya karena khawatir diwajibkan. Nah, tatkala kekhawatiran ini hilang dengan meninggalnya Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam maka Umar menghidupkannya lagi dan menamainya sebagai bid’ah secara bahasa.
                                  Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Bid’ah terbagi menjadi dua bagian: kadang berupa bid’ah secara syar’i ; seperti sabda Rosululloh Shallallahu'alaihi wa sallam:
                                  كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
                                  Setiap bentuk bid’ah adalah sesat, dan kadang berupa bid’ah secara bahasa; seperti perkataan Amiril Mukminin Umar bin Khoththob ketika menjadikan para sahabat satu jama’ah dalam sholat Tarawih secara terus-menerus: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[9]
                                  • Mungkin maksud Imam Syafi’i dengan ucapan beliau bid’ah hasanah tersebut adalah masalah-masalah dunia yang bermanfaat seperti seperti listrik, telepon, pesawat, mobil, buku dan sejenisnya dari hal-hal yang bermanfaat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ahmad bin Hajar Alu Buthomi[10] dan Syaikh Ahmad Surkati[11]
                                  • Imam Syafi’i dikenal dengan seorang ulama yang sangat menghormati hadits Nabi dan marah besar terhadap orang-orang yang menolak hadits. Pernah seorang penanya mengatakan kepada beliau: “Lantas apakah engkau berpendapat dengan hadits tersebut? Imam Syafi’i marah mendengarnya seraya mengatakan:
                                    أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِيْ، وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِيْ إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثًا فَلَمْ أَقُلْ بِهِ؟ نَعَمْ عَلَى السَّمْعِ وَالْبَصَرِ
                                    “Aduhai orang ini, bagian bumi manakah yang aku injak dan bagian langit mana yang menaungiku, apabila aku meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam kemudian aku tidak mengambilnya. Benar, aku mendengar dan tunduk pada hadits tersebut”.[12]

                                    Lantas, bagaimana kiranya beliau akan melawan hadits “Setiap bid’ah adalah sesat”?!. Maka, ucapan beliau sebaiknya dibawa kepada bid’ah secara bahasa agar tidak bertentangan dengan hadits Nabi.[13]
                                    • Banyak orang berdalil dengan ucapan Imam Syafi’i di atas untuk melegalkan adanya bid’ah hasanah dalam ibadah, padahal Imam Syafi’i sendiri mengingkari hal-hal yang mereka anggap sebagai bid’ah hasanah, contoh mudah adalah masalah acara Tahlilan dan selametan kematian[14] yang biasa diadakan oleh sebagian saudara kita yang nota bene bermadzhab Syafi’i, padahal Imam Syafi’i dan ulama-ulama madzhab Syafi’i telah menegaskan akan tercelanya perbuatan tersebut[15]. Imam Syafi’i berkata:
                                      وَ أَكْرَهُ الْمَأَتِمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةَ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَ يُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى مِنَ الأَثَرِ
                                      “Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian) sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu”.[16]

                                      Imam Nawawi menukil perkataan pengarang kitab As-Syamil sebagai berikut:
                                      وَ أَمَّا إِصْلاَحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهِ شَيْئٌ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ
                                      “Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk makan-makan, maka hal itu tidaklah dinukil sedikitpun bahkan termasuk bid’ah, bukan sunnah”.[17]

                                      Al-Hafidz As-Suyuthi berkata: “Termasuk perkara bid’ah adalah berkumpul-kumpul kepada keluarga mayit.” Kemudian beliau menukil perkataan Imam Syafi’i diatas tadi.[18]

                                      Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah Makkah, pernah ditanya masalah ini lalu dia menjawab:
                                      نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا وَالِي الأَمْرِ ثَبَّتَ اللهُ بِهِ قَوَاعِدَ الدِّيْنِ وَأَيَّدَ بِهِ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
                                      “Benar, apa yang dilakukan kebanyakan manusia berupa kumpul-kumpul pada keluarga mayit dan membuatkan makanan termasuk perkara bid’ah mungkaroh, Apabila pemerintah -yang Alloh menguatkan sendi-sendi Islam dengannya-  melarang hal ini, dia akan diberi pahala”.[19]

                                      Apakah setelah itu, masihkah disebut sebagai bid’ah hasanah?!! Jawablah wahai orang yang dikaruniai akal.

                                      • Sikap Imam Syafi’i Terhadap Ahli bid’ah
                                      Imam al-Baihaqi berkata: “Adalah Syafi’i sangat keras terhadap orang yang menyeleweng dan ahli bid’ah, dan beliau terang-terangan menghajr (mendiamkan) mereka”.[20] Bahkan dikisahkan bahwa sebab hijrah beliau dari Baghdad menuju Mesir adalah karena munculnya Mu’tazilah dan kuatnya mereka dengan kebid’ahan dan kepemimpinan mereka sehingga Negara tunduk pada mereka.[21]

                                      Di antara contoh sikap beliau adalah:
                                      قَالَ الْبُوَيْطِيُّ: سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ: أُصَلِّيْ خَلْفَ الرَّافِضِيْ ؟ قَالَ: لاَ تُصَلِّ خَلْفَ الرَّافِضِيِّ، وَلاَ الْقَدَرِيِّ، وَلاَ الْمُرْجِئِ. قُلْتُ: صِفْهُمْ لَنَا.  قَالَ: مَنْ قَالَ: الِإِيْمَانُ قَوْلٌ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ قَالَ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لَيْسَا بِإِمَامَيْنِ فَهُوَ رَافِضِيٌّ، وَمَنْ جَعَلَ الْمَشِيْئَةَ إِلَى نَفْسِهِ فَهُوَ قَدَرِيٌّ
                                      Berkata al-Buwaithi: Saya pernah bertanya kepada Syafi’i: Apakah saya sholat di belakang Rofidhah? Beliau menjawab: Jangan sholat di belakang seorang Rofidhah, Qodariyyah, Murji’ah. Saya berkata: Sifatkanlah mereka kepada kita. Beliau menjawab: Barangsiapa mengatakan bahwa iman itu sekadar ucapan maka dia adalah murji’ah. Barangsiapa mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan imam maka dia adalah Rofidhoh. Barangsiapa yang menjadikan kehendak pada dirinya maka dia adalah Qodariyyah.[22]

                                      Apa yang diucapkan oleh Imam Syafi’i ini merupakan salah satu cara untuk hajr Ahli bid’ah agar mereka bertaubat dari kesalahan dan penyimpangannya.


                                      [1] Syaikh Salim al-Hilali telah menepis syubhat-syubhat para penganut faham “bid’ah hasanah” dan meruntuhkannya satu persatu secara bagus dalam risalahnya “Al-Bid’ah wa Atsaruha Sayyi’ fil Ummah” hal. 207-247 -Jami’ Rosail-. Dan juga Syaikh Abdul Qoyyum as-Sahyibani dalam kitabnya Al-Luma’ fir Roddi Ala Muhassinil Bida’.
                                      [2] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Manaqib Syafi’i 1/469 dari Rabi’ bin Sulaiman. Tetapi dalam sanadnya terdapat Musa bin Fadhl, kami belum mendapati biografinya. (Al-Bid’ah wa Atsaruha hlm. 242 oleh Salim al-Hilali).
                                      [3] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah Auliya’ 9/113 dari Harmalah bin Yahya. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Athosyi, disebutkan oleh al-Khothib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dan As-Sam’ani dalam Al-Ansab, tetapi keduanya tidak menyebutkan pujian atau celaan. (Al-Bid’ah hlm. 242).
                                      [4]  Ar-Risalah hlm. 295 dan Al-Umm 7/269. Lihat pula Al-Ihkam fii Ushul Ahkam 1/361 oleh Ibnu Hazm, Mudzakkiroh Ushul Fiqih hlm. 340 oleh asy-Syinqithi, Taudhih Ushul Fiqih ala Manhaj Ahlil Hadits hlm. 193-194 oleh Zakariya bin Ghulam al-Bakistani.
                                      [5] Manaqib Syafi’i 1/470 oleh al-Baihaqi.
                                      [6] Manhaj Imam Syafi’i fii Itsbatil Aqidah hlm. 134 oleh Syaikh Dr. Muhammad al-Aqil.
                                      [7] Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/131.
                                      [8]  Al-Fatawa Al-Haditsiyyah hlm. 370. Lihat pula Juz fi Ittiba’ Sunan hlm. 30 oleh adz-Dzahabi.
                                      [9] Tafsir Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir 1/283.
                                      [10] Tahdzir Muslimin hlm. 66.
                                      [11]  Al-Masail Tsalats hlm. 49-50.
                                      [12] Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/150 oleh al-Khathib al-Baghdadi.
                                      [13]  Lihat Al-Bid’ah wa Atsaruha hlm. 242-244 oleh Syaikh Salim al-Hilali, dan Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bida’ hlm. 289-296 oleh DR. Ust. Muhammad Nur Ihsan.
                                      [14]  Sudah banyak para ustadz dan peneliti yang menulis buku tentang hal ini, seperti Ustadzuna Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab, Ustadz Abu Ihsan al-Medani dalam Bincang-Bincang Seputar Tahlilan Yasinan dan Maulidan, ustadzuna Abu Ibrahim dalam Penjelasan Gamblang Tentang Yasinan Tahlilan dan Selametan, ustadz Hartono Ahmad Jaiz dalam Tarekat Tasawwuf  Tahlilan dan Maulidan , ustadz Abdul Aziz dalam Muallaf Menggugat Tahlilan, saudara Harry Yuniardi dalam Santri NU Menggugat Tahlilan. Dan ustadz Abu Ubaidah juga memiliki tulisan ringkas mengenai hal ini berjudul “Tahlilan Dalam Pandangan Ulama Madzhab”, tercetak bersama buku  beliau “Bangga Dengan Jenggot”.
                                      [15]  Kalau kita perhatikan keterangan para ulama dalam masalah ini, akan sangat jelas bagi kita bahwa ulama madzhab Syafi’i adalah di antara ulama madzhab yang paling keras mengingkari acara ini dibandingkan madzhab-madzhab lainnya. Saya jadi teringat dengan kisah salah seorang ustadz yang berdialog dengan simpatisan acara ini. Setelah ustadz tersebut membawakan komentar ulama-ulama Syafi’iyyah di atas, ternyata sang simpatisan berkomentar aneh: “Kita ini sudah banyak mengikuti madzhab Syafi’i, jadi sekali-kali boleh lah kita menyelisihinya”.!!!
                                      [16] Al-Umm (1/318)
                                      [17] Al-Majmu (5/290).
                                      [18] Al-Amru bil Ittiba’ (hal. 288)
                                      [19] I’anah Tholibin juz. 2 hal.145-146 oleh Syeikh Abu Bakar Muhammad Syatho.
                                      [20] Manaqib Syafi’i 1/469.
                                      [21]  Lihat Manhaj Imam Syafi’i fi Itsbatil Aqidah 1/138 oleh Dr. Muhammad Al-Aqil.
                                      [22]  Siyar A’lam Nubala’ 3/3283 oleh adz-Dzahabi.


                                      PRINSIP KELIMA
                                      Melarang Fanatik dan Takqlid Buta

                                      Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ (loyalitas) dan bara’ (benci)-nya diukur dan didasarkan keperpihakan pada golongan. Fanatik ini bisa terjadi antar kelompok, organisasi, dan madzhab, individu, negara dan sebagainya.

                                      Adapun taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar dalil atau hujjahnya.[1] Allah telah mencela sikap taklid dalam banyak ayatNya, di antaranya:
                                      إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ اْلأَسْبَابُ
                                      (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (QS. Al-Baqarah: 166).

                                      Nah, sekarang bagaimana sikap Imam Syafi’i terhadap taklid dan fanatisme?! Ikutilah penjelasan berikut:

                                      • Imam Syafi’i Melarang Taklid
                                      Para ulama sepakat untuk mengingkari taklid buta dan mereka melarang manusia dari sikap taklid kepada pribadi mereka[2]. Dan di antara para Imam yang paling keras melarang taklid adalah Imam Syafi’i, karena beliau komitmen kuat dengan hadits Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam dan beliau berlepas diri dari sikap taklid, beliau mengulang-ngulang wasiat tersebut berkali-kali dan menganjurkan untuk mengikuti dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi, sehingga wasiat emas ini membawa manfaat yang sangat banyak sekali.[3]

                                      Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Para imam empat melarang dari sikap taklid kepada mereka dan mereka mencela untuk mengambil ucapan mereka tanpa dalil”.[4]

                                      Nukilan-nukilan dari mereka tentang masalah ini banyak sekali[5], terutama dari Imam Syafi’i[6], kami akan sebutkan di antaranya saja sebagai pelajaran bagi kita:
                                        • Imam Syafi’i berkata:
                                          كُلُّ مَا قُلْتُهُ فَكَانَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا صَحَّ، فَهُوَ أَوْلَى، وَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ
                                          “Setiap apa yang aku katakan lalu ada hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam yang menyelisihi ucapanku maka hadits lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taklid kepadaku”.[7]
                                            • Imam Syafi’i berkata:
                                              إِذَا وَجَدْتُمْ فِيْ كِتَابِيْ خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَدَعُوْا مَا قُلْتُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : فَااتَّبِعُوْهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ
                                              “Apabila kalian mendapati sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam maka ikutilah sunnah Rasulullah dan janganlah menoleh ucapan seorangpun”.[8]
                                                • Imam Syafi’i berkata:
                                                  إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صل`ى الله عليه و سلم فَخُذُوْا بِهِ وَدَعُوْا قَوْلِيْ
                                                  “Apabila telah shahih hadits dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam maka ambilah dan tinggalkan pendapatku”.[9]
                                                    • Imam Syafi’i berkata:
                                                       إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ ، وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ، فَاضْرِبُوْا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
                                                      “Apabila ada hadits shahih maka itulah madzhabku dan apabila ada hadits shohih maka lemparlah ucapanku ke tembok”.[10]
                                                        • Imam Syafi’i berkata:
                                                          ِكُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ الْخَبَرُ فِيْهَا عَنِ النَّبِيِّ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِيْ حَيَاتِيْ وَبَعْدَ مَمَاتِيْ
                                                          “Setiap masalah yang ternyata ada hadits shohih dari Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam yang menyelisihi ucapanku maka saya meralatnya baik di saat hidupku atau sesudah matiku”.[11]

                                                          Demikianlah saudaraku, ucapan-ucapan emas nan berharga dari Imam Syafi’i. Berkat ucapan beliau ini, maka para muridnya dan pengikut madzhabnya yang sejati mengikuti wasiat emas beliau sekalipun harus menyelisihi pendapat Syafi’i. Imam Nawawi berkata: “Para sahabat kami telah mengamalkan wasiat ini dalam masalah tatswib dan persyaratan tahallul pada ihram karena sakit dan masalah-masalah lainnya yang termuat dalam kitab-kitab fiqih”.[12]

                                                          Berikut beberapa contoh praktek nyata para muridnya dalam merealisasikan wasiat ini:
                                                          1. Imam Al-Muzani (salah seorang murid senior Imam Syafi’i) berkata di awal kitabnya Mukhtashor Fi Fiqih Syafi’i: “Kitab ini saya intisarikan dari ilmu Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan dari makna yang pernah beliau ucapkan. Hal itu aku lakukan untuk memudahkan siapa saja yang ingin mengetahui ilmu-ilmu beliau dengan catatan bahwa Imam Syafi’i sendiri telah melarang dari sikap taklid kepadanya atau kepada selainnya”.[13]
                                                          2. Abu Bakar al-Atsrom berkata: Aku pernah duduk bersama Imam Al-Buwaithi (salah seorang murid senior Syafi’i) aku menyebutkan padanya hadits Ammar tentang masalah tayammum, maka beliau mengambil sebilah pisau dan ia mengupas sedikit dari bagian kitabnya, kemudian ia pukulkan kitabnya itu satu pukulan dengan pisauanya seraya berkata: “Begitulah guru kami (Imam Syafi’i) berwasiat kepada kami. Apabila telah shahih sebuah hadits menurut kalian maka itulah pendapatku”.
                                                          Imam Abu Syamah berkomentar: “Apa yang dilakukan oleh al-Buwaithi ini merupakan tindakan yang bagus dan sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dan sesuai dengan perintah Imam Syafi’i. Adapun mereka yang menampakkan fanatik kepada pendapat-pendapat Imam Syafi’i dalam keadaan bagaimanapun juga sekalipun menyelisihi sunnah, maka pada hakekatnya mereka bukanlah orang-orang yang mengikuti Imam Syafi’i. Hal itu karena mereka tidak melaksanakan perintah beliau”.[14]
                                                          • Imam Syafi’i mengingkari Fanatisme
                                                          Fanatisme madzhab dan golongan hukumnya haram. Imam Syafi’i telah mengingkari keras sikap fanatisme madzhab dan golongan. Imam Al-Baihaqi menceritakan bahwa Imam Syafi’i menyatakan kepada seorang yang mempertentangkan hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dengan perkataan ulama:

                                                          أَنَا أَقُوْلُ لَكَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَأَنْتَ تَقُوْلُ : قَالَ عَطَاءُ وَطَاوُوْسُ وَمَنْصُوْرٌ وَإِبْرَاهِيْمُ وَهَؤُلاَءِ لاَ يَرَوْنَ ذَلِكَ. هَلْ لأَحَدٍ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ حُجَّةٌ؟
                                                          “Aku berkata kepadamu bahwa Rasulullah telah bersabda demikian tetapi kemudian kamu justru berkata Atho’, Thowus, Manshur, Ibrahim tidak berpedapat demikian. Apakah ada ucapan seorang yang bisa dipertentangakan dengan Rasulullah?!”.[15]

                                                          Sekalipun demikian wasiat dan pengingkaran Imam Syafi’i, tapi lihatlah apa yang terjadi pada tubuh para pengikutnya. Perseteruan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah adalah sesuatu yang sangat populer sejak dahulu.


                                                          [1] Mudzakkiroh Ushul Fiqih hlm. 490 oleh asy-Syinqithi.
                                                          [2]  Lihat masalah ini secara bagus dalam Iqodh Himam Ulil Abshor oleh al-Fullani dan Al-Muqollidun wal Aimmah Arbaah oleh Abu Abdirrahman Said Mi’syasyah.
                                                          [3]  Al-Ihkam fii Ushul Ahkam 2/1091 oleh Ibnu Hazm.
                                                          [4]  I’lamul Muwaqqi’in 2/200.
                                                          [5]  Lihat Muqoddimah Shifat Sholat Nabi hlm. 45-55 oleh al-Albani dan At-Ta’dhim wal Minnah fil Intishor lis Sunnah hlm. 19-29 oleh Syaikh Salim al-Hilali.
                                                          [6]  Lihat buku “Wasiat dan Prinsip Imam Syafi’i Tentang Taklid Buta dan Fanatisme Madzhab” oleh akhuna Al-Ustadz Ibnu Saini. Kami telah mengambil manfaat dari beberapa nukilannya.
                                                          [7] Hilyatul Auliya 9/106-107 oleh Abu Nu’aim.
                                                          [8]  Dzammul Kalam 3/47 oleh Al-Harowi dan dishahihkan alAlbani dalam Shifat Sholat Nabi hlm. 50.
                                                          [9]  Al-Bidayah wa Nihayah 5/276 oleh Ibnu Katsir.
                                                          [10]  Siyar A’lam Nubala 5/35 oleh Adz-Dzahabi dan Al-Majmu’ 1/63 oleh an-Nawawi.
                                                          [11] Tawali Ta’sis hlm. 108 oleh Ibnu Hajar.
                                                          [12] Al-Majmu’ 1/63.
                                                          [13] Mukhtashor Al-Muzani hlm. 1.
                                                          [14] Mukhtashor Al-Muammal Fir Raddi Ila Amril Awwal hlm. 59 dan dinukil oleh as-Subki dalam Makna Qouilil Imam Al-Muthollibi hlm. 81.
                                                          [15]  Manaqib Syafi’i 1/214-215. 



                                                          PRINSIP KEENAM 
                                                          Persatuan Dan Perselisihan

                                                          “Persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin serta membendung segala celah perpecahan merupakan tujuan syari’at yang sangat agung dan pokok di antara pokok-pokok besar agama Islam. Hal ini diketahui oleh setiap orang yang mempelajari petunjuk Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam yang mulia dan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah”.[1]
                                                          • Imam Syafi’i Menyeru Kepada Persatuan
                                                          Persatuan adalah sesuatu yang sangat ditekankan dan dianjurkan dalam Islam. Namun perlu diketahui bahwa persatuan di sini adalah persatuan di atas aqidah yang sama, bukan persatuan yang sekadar dalam slogan saja tetapi pada hakekatnya hati mereka bercerai berai. Oleh karenanya, perlu diperhatikan beberapa hal berikut untuk mempersatukan umat:
                                                          1. Memperbaiki aqidah dari noda-noda syirik.
                                                          2. Mendengar dan ta’at kepada para pemimpin, karena memberontak kepada mereka akan menyebabkan kekacauan.
                                                          3. Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan persengketaan.
                                                          4. Mendamaikan antara manusia yang bersengketa dan bertengkar.
                                                          5. Memerangi para pemberontak yang ingin memecah belah persatuan.[2]
                                                          Dan Imam Syafi’i sangat menanamkan beberapa hal di atas sebagai bentuk usaha persatuan. Hal ini sangat diketahui oleh orang yang mempelajari kehidupan beliau. Di antara ucapan beliau dalam masalah ini adalah:

                                                          وَمَنْ قَالَ بِمَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ لَزِمَ جَمَاعَتَهُمْ, وَمَنْ خَالَفَ مَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ جَمَاعَتَهُمْ الَّتِيْ أُمِرَ بِلُزُوْمِهَا, وَإِنَّمَا تَكُوْنُ الْغَفْلَةُ فِي الْفُرْقَةِ, فَأَمَّا الْجَمَاعَةُ فَلاَ يُمْكِنُ فِيْهَا كَافَةًّ غَفْلَةٌ عَنْ مَعْنَى كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ قِيَاسٍ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
                                                          “Barangsiapa berpendapat sesuai dengan jama’ah kaum muslimin maka berarti dia berpegang kepada jama’ah mereka, dan barangsiapa yang menyelisihi jama’ah kaum muslimin maka dia menyelisihi jama’ah yang dia diperintahkan untuk mengikutinya. Sesungguhnya kesalahan itu ada dalam perpecahan, adapaun jama’ah maka tidak mungkin semuanya bersatu menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, dan qiyas insya Alloh”.[3]

                                                          Para ulama Syafi’iyyah mengikuti wasiat yang mulia ini, seperti wasiat Imam ash-Shabuni: “Saya wasiatkan kepada kalian agar menjadi umat yang bersaudara dalam kebaikan, saling tolong-menolong, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan tidak berpecah belah, dan mengikuti jalan para ulama umat ini seperti Malik bin Anas, Syafi’i, Tsauri, Ibnu Uyainah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Ibrahim, Yahya bin Yahya dan selain mereka dari ulama agama Islam, semoga Allah meridhoi mereka semua dan menjadikan kita semua bersama mereka dalam surgaNya”.[4]
                                                          • Imam Syafi’i memerintahkan taat kepada pemimpin dan melarang memberontak mereka
                                                          Salah satu kita menuju persatuan dan mencegah perpecahan yang sangat inti adalah taat kepada pemimpin dan tidak memberontak mereka. Inilah yang ditanamkan oleh Imam Syafi’i dan murid-muridnya.

                                                          Imam Syafi’i juga berkata:
                                                          (فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ في شيء فردوه إلى الله) يَعْنِي وَاللهُ أَعْلَمُ هُمْ وَأُمَرَاؤُهُمْ الَّذِيْنَ أُمِرُوْا بِطَاعَتِهِمْ
                                                          “Kalau kalian berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada Allah” Yakni –wallahu A’lam- mereka dan para pemimpin mereka yang diperintahkan untuk ditaati oleh mereka”.[5]

                                                          Dalam ucapan ini, beliau menegaskan bahwa para pemimpin itu harus ditaati, tapi tentunya hal itu selain dalam kemaksiatan, sebab tidak ada ketaatan dalam hal maksiat kepada Allah.[6]

                                                          Imam Syafi’i berkata dalam wasiatnya:
                                                          وَالسَّمْعُ لأُوْلِي الأَمْرِ مَا دَامُوْا يُصَلُّوْنَ وَالْمُوَالاَةُ لَهُمْ وَلاَ يَخْرُجُ عَلَيْهِمْ بِالسَّيْفِ
                                                          “Dan hendaknya taat kepada pemimpin selagi mereka masih shalat dan mencintai mereka dan tidak memberontak mereka”.[7]

                                                          Beliau juga menganjurkan kepada kita untuk mendoakan kebaikan untuk para pemimpin:
                                                          وَالدُّعَاءُ لأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ يَخْرُجُ عَلَيْهِمْ بِالسَّيْفِ
                                                          “Dan hendaknya mendoakan kebaikan bagi para pemimpin kaum muslimin dan tidak memberontak mereka”.[8]

                                                          Bahkan beliau menjadikan ini sebagai aqidah karena beliau mengatakan setelah itu: “Barangsiapa yang menyelisihi hal ini (aqidah ini) maka dia telah menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam”.[9]

                                                          Murid beliau al-Muzani juga berwasiat: “Dan hendaknya taat kepada pemimpin dalam kebaikan dan menjauhi dalam kemaksiatan”.[10]

                                                          Oleh karenanya kita dianjurkan mendoakan baik pemimpin dan membantu beban berat amanat para pemimpin, karena memimpin manusia itu bukan pekerjaan ringan. Imam Syafi’i sendiri mengatakan:
                                                          سِيَاسَةُ النَّاسِ أَشَدُّ مِنْ سِيَاسَةِ الدَّوَابِ
                                                          “Mengatur manusia itu lebih berat daripada mengatur binatang”.[11]
                                                           


                                                          [1] Al-Fathur Robbani 6/2847-2848 oleh asy-Syaukani.
                                                          [2]  Al-Ajwibah Mufidah hlm. 130-131 oleh Dr. Shalih al-Fauzan.
                                                          [3] Ar-Risalah hlm. 475-476.
                                                          [4]  Wasiat Imam Ash-Shobuni hlm. 70.
                                                          [5]  Ar-Risalah hlm. 80.
                                                          [6]  Syaikh Ibnu Utsaimin berkata dalam  Syarh Riyadhus Sholihin 3/652-656: “Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:
                                                          1. Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti sholat fardhu, maka wajib mentaatinya.
                                                          2. Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh mentaatinya.
                                                          3. Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari’at, maka majib ditaati juga, bila tidak mentaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.
                                                          Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari’at maka tidak wajib mentaatinya, maka ini adalah pemikiran yang bathil dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah”.
                                                          [7] Diriwayatkan oleh Al-Hakkari dalam I’tiqod Imam Syafi’i hlm. 16 dan Abdul Ghoni bin Abdul Wahid al-Maqdisi sebagaimana dalam Al-Amru bil Ittiba’ hlm. 313 oleh as-Suyuthi.
                                                          [8]  I’tiqod Imam Syafi’i hlm. 18 oleh al-Hakkari.
                                                          [9]  Idem hlm. 18
                                                          [10]  Syarhus Sunnah hlm. 86.
                                                          [11] Tawali Ta’sis hlm. 134 oleh Ibnu Hajar.

                                                          • Macam maçam Perselisihan Penurut Imam Syafi’i
                                                          Penting sekali bagi kita untuk memahami fiqih ikhtilaf yang telah dijelaskan secara bagus oleh Imam Syafi’i. Beliau berkata:
                                                          الاخْتِلاَفُ وَجْهَانِ : فَمَا كَانَ لِلَّهِ فِيْهِ نَصُّ حُكْمٍ أَوْ لِرَسُوْلِهِ سُنَّةٌ أَوْ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِيْهِ إِجْمَاعٌ لَمْ يَسَعْ أَحَدًا عَلِمَ مِنْ هَذَا وَاحِدًا أَنْ يُخَالِفَهُ. وَمَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِنْ هَذَا وَاحِدٌ كَانَ لِأَهْلِ الْعِلْمِ الاجْتِهَادُ فِيْهِ بِطَلَبِ الشُّبْهَةِ بِأَحَدِ هَذِهِ الْوُجُوْهِ الثّلاَثَةِ
                                                          “Perselisihan itu ada dua macam, apabila sudah ada dalilnya yang jelas dari Allah dan sunnah Rasul atau ijma’ kaum muslimin maka tidak boleh bagi kaum muslimin yang mengetahuinya untuk menyelisihinya. Adapun apabila tidak ada dalilnya yang jelas maka boleh bagi ahli ilmu untuk berijtihad dengan mencari masalah yang menyerupainya dengan salah satu di antara tiga tadi (Al-Qur’an, sunnah dan ijma’).[1]

                                                          Dari penjelasan ucapan Imam Syafi’i di atas, dapat kita simpulkan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam[2]: 

                                                          Pertama: Perselisihan Tercela
                                                          Yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama. Hal ini memiliki beberapa gambaran:
                                                          1. Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya.[3]
                                                          2. Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh.[4]
                                                          3. Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti[5].
                                                          Kedua: Perselisihan Yang Tidak Tercela
                                                          Yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih[6]. Hal ini memiliki beberapa gambaran:
                                                          1. Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
                                                          2. Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
                                                          3. Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat[7].
                                                          Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan[8].

                                                          Imam Qotadah berkata: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”.[9]

                                                          Mirip dengan ini adalah ucapan Syaikh Hammad al-Anshori: “Sesungguhnya mengetahui perselisihan ulama adalah penting untuk diketahui oleh penuntut ilmu karena kejahilan tentangnya menjadikan seorang akan bertikai, bermusuhan dan sejenisnya”.[10]

                                                          Imam Syafi’i pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi:
                                                          يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
                                                          “Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!”.[11]

                                                          Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran.

                                                          Dan termasuk kisah menarik dalam hal ini adalah dialog Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam dan Imam Syafi’i tentang makna ( الْقَرْءُ) apakah maksudnya adalah haidh ataukah suci dari haidh. Pertamanya Imam Syafi’i mengatakan: Haidh dan Abu Ubaid mengatakan: Suci dari haidh. Setelah masing-masing memaparkan argumen-argumen yang kuat dan berpisah, ternyata masing-masing terpengaruh dengan argumen kawan debatnya, sehingga Imam Syafi’i yang pertamanya berpendapat haidh akhirnya berubah menjadi suci dari haidh dan Abu Ubaid yang pertamanya berpendapat suci dari haidh berubah menjadi haidh.[12]


                                                          [1] Jima’ul Ilmi hlm. 96, Ar-Risalah hlm. 560.
                                                          [2] Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab Al-Ikhtilaf wa Maa Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah? oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.
                                                          [3] Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi’ul Adillah 2/326 oleh as-Sam’ani.
                                                          [4] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.
                                                          [5] Lihat Qowa’idul Ahkam 1/216 oleh al-’Izzu bin Abdis Salam.
                                                          [6] Semoga Allah merahmati Imam Ibnul Qoyyim tatkala mengatakan: “Adanya perbedaan pendapat di kalangan manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi karena perbedaan pemahaman dan kadar akal mereka, akan tetapi yang tercela adalah permusuhan di kalangan mereka. Adapun perbedaan yang tidak menjadikan permusuhan dan pengelompokan, masing-masing yang berselisih tujuannya adalah ketaatan kepada Allah dan rasulNya, maka perbedaan tersebut tidaklah berbahaya, karena memang itu adalah suatu kepastian pada manusia”. (Showai’q Al-Mursalah 2/519).
                                                          [7] Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin Ali asy-Syamroni.
                                                          [8] Alangkah indahnya ucapan Ahmad bin Abdul Halim: “Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka banyak sekali jumlahnya. Seandainya setiap dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar dan Umar saja, kedua orang yang paling mulia setelah Nabi, mereka berdua bebeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi keduanya tidak menginginkan kecuali kebaikan”. (Majmu’ Fatawa 5/408).
                                                          [9] Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.
                                                          [10]  Al-Majmu’ fi Tarjamati Syaikh Hammad al-Anshori 2/519.
                                                          [11] Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 3/3281, lalu berkomentar: “Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’i dan kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat”.
                                                          [12]  Thobaqot Syafi’iyyah 1/273 oleh as-Subki, Muqoddimah Syaikh Masyhur bin Hasan terhadap Ath-Thuhur karya Abu Ubaid hlm. 34


                                                          PRINSIP KETUJUH
                                                          Membantah Para Penyimpang Agama

                                                          Membantah  ahli bathil merupakan tugas yang sangat mulia, bahkan termasuk jihad fi sabilillah bagi orang yang dikarunia ilmu.[1] Syaikhul Islam mengatakan bahwa orang yang membantah ahli bid’ah termasuk orang yang berjihad, sampai-sampai Yahya bin Yahya berkata: “Membela sunnah lebih utama daripada jihad”.[2] 

                                                          Prinsip mulia telah diterapkan oleh Imam Syafi’i dalam banyak kesempatan sehingga Allah memberikan manfaat yang banyak dengan sebab itu.

                                                          Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Saya tidak mengetahui seorangpun yang lebih berjasa pada Islam pada zaman Syafi’i daripada Syafi’i”. Abu Zur’ah berkata: “Benar Ahmad bin Hanbal. Saya juga tidak mengetahui seorangpun yang lebih berjasa pada Islam di zaman Syafi’i daripada Syafi’i dan seorangpun yang membela sunnah Rasulullah seperti pembelaan Syafi’i dan membongkar kedok para kaum (ahli bid’ah) seperti yang dilakukan oleh Syafi’i”.[3]

                                                          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Manaqib (keutamaan) Imam Syafi’i dan kesungguhannya dalam mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah serta kesungguhannya dalam membantah orang yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak sekali”.[4]

                                                          Berikut beberapa contoh praktek Imam Syafi’i terhadap prinsip mulia ini:
                                                          • Imam Syafi’i Menggugat Para Penipu Agama
                                                          Akhir-akhir ini banyak orang menampakkan aksi-aksi luar biasa bahkan disiarkan di media massa dan media kaca yang disaksikan oleh banyak penonton setia, padahal hal itu adalah sihir dan penipuan yang amat nyata.

                                                          Kedigdayaan dan keluarbiasaan yang muncul pada seseorang tidak mesti menunjukkan kebaikan seseorang tersebut. Akan tetapi kebaikan seseorang harus diukur dengan barometer syariat. Tidakkah engkau lihat bahwa Dajjal juga memiliki keluarbiasaan, tetapi apakah hal itu menunjukkan dia sholih dan baik?!! Jadi dalam hal ini harus dibedakan antara karomah dan istidroj. Karomah adalah keluarbiasaan yang Alloh Subhanahu wa ta'ala anugerahkan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, adapun kedigdayaan yang muncul dari orang yang menyimpang, penyihir dan para Dajjal, maka hal itu disebut istidroj dan tipu daya Iblis.

                                                          Imam Syafi’i telah menyingkap kedok mereka jauh-jauh hari.
                                                          ابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا يُوْنُسُ، قُلْتُ لِلشَّافِعِيِّ: صَاحِبُنَا اللَّيْثُ يَقُوْلُ : لَوْ رَأَيْتُ صَاحِبَ هَوَى يَمْشِيْ عَلَى الْمَاءِ مَا قَبِلْتُه ُ. قَالَ : قَصَّرَ، لَوْ رَأَيْتُهُ يَمْشِيْ فِي الْهَوَاءِ لَمَا قَبِلْتُهُ
                                                          Ibnu Abi Hatim berkata: menceritakan kami Yunus, aku berkata kepada Syafi’i: Kawan kita Laits mengatakan: Seandainya saya melihat pengekor hawa nafsu berjalan di atas air, saya tidak akan menerimanya. Syafi’i berkata: “Dia masih kurang, seandainya saya melihatnya dapat berjalan di udara, saya tidak akan menerimanya”.[5]
                                                          • Imam Syafi’i dan Ilmu Kalam/Filsafat
                                                          Imam adz-Dzahabi berkata: “Telah mutawatir dari Imam Syafi’i bahwa beliau mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Beliau adalah seorang yang semangat dalam mengikuti atsar (sunnah) baik dalam masalah aqidah atau hukum fiqih”.[6]

                                                          Bahkan beliau memberikan kecaman keras kepada para ahli kalam. Simaklah ucapan Imam Syafi’i berikut:
                                                          حُكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْجَرِيْدِ، وَيُحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ : هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلاَمِ
                                                          “Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia kelilingkan ke kampung seraya dikatakan pada khayalak: Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari Al-Qur’an dan sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.”[7]
                                                          • Imam Syafi’i dan Shufiyyah
                                                          Kaum Shufi belakangan banyak mengumpulkan beberapa penyimpangan dari agama Islam dan dakwah Imam Syafi’i[8]. Oleh karenanya, Imam Syafi’i memperingatkan kita dari kelompok tersebut. Beliau berkata:
                                                          لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَصَوَّفَ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ لَمْ يَأْتِ عَلَيْهِ الظُّهْرُ إِلاَّ وَجَدْتَهُ أَحْمَقَ
                                                          “Seandainya seorang menjadi shufi di awal siang hari, maka sebelum dhuhur akan engkau dapati dia termasuk orang yang pandir”.[9]

                                                          أُسُّ التَّصَوُّفِ الْكَسْلُ
                                                          “Pokok utama tashawuf adalah kemalasan”.[10]

                                                          خَلَّفْتُ بِبَغْدَادَ شَيْئًا أَحْدَثَتْهُ الزَّنَادِقَةُ يُسَمُّوْنَهُ “التَّغْبِيْرَ” يُشْغِلُوْنَ بِهِ النَّاسَ عَنِ الْقُرْآنِ
                                                          “Saya tinggalkan kota Baghdad sesuatu yang dibuat orang-orang zindiq, mereka menamainya dengan taghbir untuk melalaikan manusia dari Al-Qur’an”.[11] 

                                                          Taghbir adalah dzikir atau lantunan syair-syair zuhud dengan suara merdu, ini adalah kebiasaan orang-orang sufi. Maka Imam Syafi’i dengan kesempurnaan ilmu dan imannya mengetahui bahwa semua itu dapat memalingkan manusia dari Al-Qur’an[12]. (baca disini)
                                                          • Imam Syafi’i dan Rofidhoh
                                                          Kaum Rofidhoh adalah kaum yang memiliki banyak penyimpangan dan kesamaan dengan kaum Yahudi[13]. Oleh karenanya, Imam Syafi’i memperingatkan keras kepada kita akan kejelekan mereka. Beliau  menyebut mereka dengan kelompok yang paling jelek[14]. Beliau juga mengatakan:
                                                          لَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ أَشْهَدَ باِِلزُّوْرِ مِنَ الرَّافِضَةِ
                                                          “Saya tidak mendapati seorangpun dari pengekor hawa nafsu yang lebih pendusta daripada kaum Rofidhoh”.[15]


                                                          [1]  Ya, membantah ahli bid’ah ini hanyalah bagi mereka yang memiliki ilmu. Oleh karenanya tidak boleh tergesa-gesa membantah mereka kecuali dengan ilmu dan hikmah. Adapun apabila anak-anak kemarin sore tergesa-gesa menangani masalah ini tanpa ilmu dan tanpa adab, maka kita khawatir kerusakan lebih besar. (Lihat Al-Mantsur hlm. 30 oleh al-Maqdisi).
                                                          [2]  Idem 4/13.
                                                          [3] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 93 oleh al-Aburri, Manaqib Syafi’i 2/278-279 oleh al-Baihaqi.
                                                          [4]  Majmu Fatawa 20/330.
                                                          [5] Siyar A’lam Nubala’ 3/3282 oleh adz-Dzahabi.
                                                          [6] Mukhtashor Al-Uluw hlm. 177.
                                                          [7] Manaqib Syafi’i al-Baihaqi 1/462, Tawali Ta’sis Ibnu Hajar hal. 111, Syaraf Ashabil Hadits al-Khathib al-Baghdadi hal. 143. Imam adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lam Nubala’ 3/3283: “Ucapan ini mungkin mutawatir dari Imam Syafi’i”.
                                                          [8]  Lihat buku khusus masalah ini “Mukholafat Shufiyyah lil Imam Syafi’i” oleh Syaikh Abdul Kholiq al-Washobi.
                                                          [9] Manaqib Syafi’i 2/207 oleh al-Baihaqi.
                                                          [10]  Hilyatul Ulama 9/136-137 oleh Abu Nu’aim.
                                                          [11]  Manaqib Syafi’i 1/283, Talbis Iblis hlm. 230.
                                                          [12] Lihat Al-Istiqomah hlm. 127 dan Al-Fahrasat hlm. 445 oleh Ibnu Nadim.
                                                          [13]  Syaikh Abdullah Al-Jamili menulis sebuah kitab besar berjudul “Badzlul Majhud fi Itsabt Musyabahah Bainan Rofidhoh wal Yahud” (Mencurahkan Jerih Payah Untuk Menetapkan Kemiripan Antara Rofidhoh dengan Yahudi). cet Maktabah Ghuroba Atsariyyah.
                                                          [14]  Manaqib Syafi’i 1/468 oleh al-Baihaqi.
                                                          [15]  Adab Syafi’i hlm. 187-189 oleh Ibnu Abi Hatim. 



                                                          PRINSIP KEDELAPAN 
                                                          Perhatian Kepada Ilmu Agama

                                                          • Defenisi Ilmu Menurut Imam Syafi’i
                                                          Perlu diketahui bahwa setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits maksudnya adalah ilmu agama, ilmu Al-Qur’an dan sunnah, sekalipun kita tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitek, pertanian, perekonomian dan sebagainya.

                                                          Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Ilmu yang bermanfaat adalah mempelajari Al-Qur’an dan sunnah serta memahami makna kandungan keduanya dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Demikian juga dalam masalah hukum halal dan haram, zuhud dan masalah hati, dan lain sebagainya”.[1]

                                                          Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i, ilmu yang berfaedah untuk mengetahui kewajiban seorang hamba berupa perkara agama, baik dalam ibadah maupun pergaulannya sehari-hari. Ilmu yang berbicara tentang Alloh dan sifat-sifatNya, serta apa yang wajib bagi dirinya dalam menjalankan perintah Alloh, mensucikan Alloh dari segala kekurangan, ilmu yang demikian berkisar pada ilmu tafsir, hadits dan fiqh”.[2]

                                                          Imam Syafi’i berkata:
                                                          كُلُّ الْعُلُومِ سِوَى الْقُرْآنِ مَشْغَلَةٌ
                                                           إِلَّا الْحَدِيثَ وَإِلَّا الْفِقْهَ فِي الدِّين
                                                          الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيهِ قَالَ حَدَّثَنَا
                                                           وَمَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَاسُ الشَّيَاطِينِ
                                                          Setiap ilmu selain Al-Qur’an adalah menyibukkan
                                                          Kecuali hadits dan fiqih dalam agama
                                                          Ilmu adalah yang terdapat di dalamnya Haddatsana (hadits)
                                                          Selain itu adalah was-was Syetan.[3]
                                                          • Keutamaan Ilmu Menurut Imam Syafi’i
                                                          Keutamaan-keutamaan ilmu agama banyak sekali, di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Imam Syafi’i bahwa: 

                                                          1. Ilmu adalah sebab kebaikan di dunia dan akherat
                                                          Imam Syafi’i berkata:
                                                          مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
                                                          Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki akherat, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia akherat, maka hendaknya dia berilmu. [4]

                                                          Dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam:
                                                          مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ اْلدِّيْنِ
                                                          “Barangsiapa yang Alloh kehendaki kebaikan, maka Alloh akan faqihkan ia dalam agamaNya”.[5] 

                                                          2. Ilmu Sebagai benteng dari syubhat dan fitnah
                                                          Imam Syafi’i berkata:
                                                          لَوْلاَ الْمَحَابِرُ لَخَطَبَتِ الزَّنَادِقَةُ عَلَى الْمَنَابِرِ
                                                          “Seandainya bukan karena tinta (ilmu), niscaya orang-orang zindiq akan berkhutbah di mimbar-mimbar”[6]

                                                          Dengan ilmu kita dapat menjaga diri kita dari berbagai syubhat yang menyerang. [7] Dengan ilmu juga kita dapat membantah argumen orang-orang yang ingin merusak agama. Oleh karenanya jihad ada dua macam: karena itu, jihad ada dua macam: Jihad dengan tangan dan lisan.[8] 

                                                          3. Ilmu adalah amalam yang paling utama
                                                          Imam Asy-Syafi’i berkata:
                                                          لَيْسَ شَيْءٌ بَعْدَ الْفَرَائِضِ أَفْضَلُ مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ
                                                          “Tidak ada satupun yang lebih utama setelah menunaikan kewajiban selain menuntut ilmu”.[9] 

                                                          4. Menuntut ilmu lebih utama daripada ibadah sunnah
                                                          Imam Syafi’i berkata:
                                                          طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ النَّافِلَةِ
                                                          “Menuntut ilmu lebih utama daripada sholat sunnah”.[10]

                                                          Dalil yang menguatkan hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam:
                                                          وَ إِنَّ اْلعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِيْ اْلسَّمَاوَاتِ وَ مَنْ فِيْ اْلأَرْضِ حَتىَّ اْلحِيْتَانُ فِيْ اْلمَاءِ, وَ فَضْلُ اْلعَالِمِ عَلىَ اْلعَابِدِ كَفَضْلِ اْلقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلىَ سَائِرِ اْلكَوَاكِبِ
                                                          “Orang yang berilmu, ia akan dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada didalam air. Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah bagaikan bulan dimalam purnama atas seluruh bintang”.[11] 

                                                          • Semangat Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu
                                                            Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang sangat bersemangat tinggi dalam menuntut ilmu.
                                                            Al-Humaidi menceritakan bahwa dirinya tatkala di Mesir pernah keluar pada suatu malam, ternyata lampu rumah Syafi’i masih nyala. Tatkala dia naik ternyata dia mendapati kertas dan alat tulis. Dia berkata: Apa semua ini wahai Abu Abdillah (Syafi’i)?! Beliau menjawab: Saya teringat tentang makna suatu hadits dan saya khawatir akan hilang dariku, maka sayapun segara menyalakan lampu dan menulisnya”.[12]

                                                            Termasuk bukti semangat Imam Syafi’i dalam menunutut ilmu adalah ucapan beliau kepada Imam Ahmad bin Hanbal:
                                                            أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالأَخْبَارِ الصِّحَاحِ مِنَّا، فَإِذَا كَانَ خَبَرٌ صَحِيْحٌ، فَأَعْلِمْنِيْ حَتَّى أَذْهَبَ إِلَيْهِ، كُوْفِيًّا كَانَ أَوْ بَصْرِيًّا أَوْ شَامِيًّا
                                                            “Engkau lebih tahu tentang hadits-hadits shahih daripada diriku. Apabila ada hadits shohih maka beritahukanlah padaku sehingga aku akan mendatanginya baik Kufah, Bashroh atau Syam”.[13] 

                                                            • Kunci-Kunci Ilmu Menurut Imam Syafi’i
                                                              Mungkin kita bertanya-tanya: Bagaimana kiat menuntut ilmu? Apa saja kunci-kuncinya? Berikut ini jawaban Imam Syafi’i:
                                                              أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ     سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ
                                                               ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌوَبُلْغَةٌ      وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ
                                                              Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara
                                                              Akan aku kabarkan padamu perinciannya degan jelas
                                                              Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup
                                                              Bimbingan ustadz dan waktu yang lama.[14]

                                                              Imam Syafi’i juga berkata:
                                                              فَحُقَّ عَلَى طَلَبَةِ الْعِلْمِ بُلُوْغُ غَايَةِ جُهْدِهِمْ فِي الاسْتِكْثَارِ مِنْ عِلْمِهِ وَالصَّبْرُ عَلَى كُلِّ عَارِضٍ دُوْنَ طَلَبِهِ وَإِخْلاَصُ النِّيَّةِ لِلَّهِ فِي اسْتِدْرَاكِ عِلْمِهِ نَصًّا وَاسْتِنْبَاطًا وَالرَّغْبَةُ إِلَى اللهِ فِي الْعَوْنِ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لاَ يُدْرَكُ خَيْرٌ إِلاَّ بِعَوْنِهِ
                                                              “Maka hendaknya bagi para penunutut ilmu untuk:
                                                              1. Mencurahkan tenaganya dalam memperbanyak ilmu
                                                              2. Bersabar menghadapi tantangan dalam menuntut ilmu
                                                              3. Mengikhlaskan niat karena Allah untuk menggapai ilmunya secara nash ataupun istinbath (menggali hukum)
                                                              Berdoa mengharapkan pertolongan Allah, karena tidak mungkin meraih kebaikan kecuali dengan pertolonganNya”.[15]


                                                              [1] Fadhlu Ilmi Salaf ‘ala Ilmi Khalaf  hlm. 26.
                                                              [2] Fathul Bari 1/192.
                                                              [3] Diwan Syafi’i hlm. 88.
                                                              [4] Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab 1/30 oleh an-Nawawi. Dan sebagian orang menganggapnya sebagai hadits Nabi padahal tidak ada asalnya. Lihat buku penulis Kritik Hadits-Hadits Dho’if Populer hlm. 57
                                                              [5] HR.Bukhori 71 dan  Muslim 1037.
                                                              [6] Siyar A’lam Nubala’ 3/3291 oleh adz-Dzahabi.
                                                              [7] Alangkah berharganya  nasehat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah kepada muridnya Ibnul Qoyyim: “Janganlah engkau jadikan hatimu terhadap syubhat seperti spon yang menyerapnya serta merta, tetapi jadikanlah hatimu seperti kaca yang kuat, sehingga tatkala syubhat mampir padanya, dia dapat melihat dengan kejernihannya dan mengusir dengan kekuatannya. Tetapi apabila engkau jadikan hatimu menyerap setiap syubhat, maka dia akan menjadi sarang syubhat.” (Miftah Dar Sa’adah 1/443). Lalu Ibnul Qoyyim berkomentar: “Tidaklah saya mendapatkan faedah untuk menangkis syubhat lebih dari pada wasiat ini”.
                                                              [8]  Miftah Daar Sa’adah 1/70 Ibnu Qoyyim.
                                                              [9] Miftah Darr Sa’adah 1/391.
                                                              [10] Al-Majmu’  1/40 oleh an-Nawawi.
                                                              [11] HR. Abu Dawud 3641, Tirmidzi 2682, Ibnu Majah 223, Ahmad 5/196. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shohih Targhib 1/138.
                                                              [12] Adab Syafi’i wa Manaqibuhu karya Ibnu Abi Hatim hal. 44-45.
                                                              [13] Hilyatul Auliya’ 9/170 oleh Abu Nu’aim. Lihat takhrij lengkap dan panjang terhadap atsar ini dalam risalah At-Ta’dzim wal Minnah hlm. 45-46 oleh Syaikh Salim al-Hilali.
                                                              [14] Diwan Syafi’i hlm. 20.
                                                              [15] Ar-Risalah hlm. 19. 


                                                              PRINSIP KESEMBILAN 
                                                              Akhlaq Yang Mulia Dan Penyucian Jiwa

                                                              • Imam Syafi’i Menyeru akhlak yang mulia
                                                              هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
                                                              “Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan aqidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan aqidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin”[1].

                                                              Imam Syafi’i berkata menekankan pentingnya akhlak:
                                                              زِيْنَةُ الْعُلَمَاءِ التَّقْوَى وَحِلْيَتُهُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ وَجَمَالُهُمْ كَرَمُ النَّفْسِ
                                                              “Perhiasan ulama adalah taqwa, mahkota mereka adalah akhlak yang indah, dan keindahan mereka adalah kedermawanan”.[2]
                                                               
                                                              • Imam Syafi’i dan Adab dalam Dialog/Debat
                                                              Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama yang banyak melakukan dialog dan pandai berdialog[3], baik dengan lawan ataupun kawan, semuanya dalam rangka nasehat dan mencari kebenaran, bukan kemenangan. Inilah suatu adab mulia dalam dialog yang seharusnya kita perhatikan bersama, apalagi akhir-akhir ini semakin marak dialog dan debat di sana sini.

                                                              Imam Syafi’i berkata:
                                                              مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ عَلَى الْغَلَبَةِ
                                                              “Saya tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan”.[4]

                                                              Beliau juga berkata:
                                                              مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ أَحْبَبْتُ أَنْ يُوَفَّقَ وَيُسَدَّدَ وَيُعَانَ وَيَكُوْنَ عَلَيْهِ رِعَايَةٌ مِنَ اللهِ وَحِفْظٌ وَمَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلاَّ وَلَمْ أُبَالِ بَيَّنَ اللهُ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِيْ أَوْ لِسَانِهِ
                                                              “Tidaklah saya berdebat kecuali saya berharap agar lawan debatku diberi taufiq dan diberi pertolongan dan dijaga oleh Allah. Dan tidaklah saya berdebat kecuali saya tidak menghiraukan apakah Allah menampakkan kebenaran lewat lisanku atau lisannya”.[5]

                                                              Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata mengomentari ucapan ini: “Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak mempunyai maksud dan tujuan kecuali nampaknya kebenaran, sekalipun lewat lisan lawan debatnya yang menyelisihinya”.[6]
                                                              • Kelembutan Imam Syafi’i Terhadap Lawannya
                                                              Berakhlak baik menghadapi lawan merupakan akhlak indah yang jarang sekali orang bisa menerapkannya, namun Imam Syafi’i termasuk ulama yang mampu menahan dirinya dari sikap emosi dan beliau bisa bersikap arif seperti perintah Allah Subhanahu wa ta'ala:
                                                              خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْنَ 
                                                              Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199)

                                                              Imam Syafi’i berkata:
                                                              قُلْ بِمَا شِئْتَ فِيْ مَسَبَّةِ عِرْضِيْ     فَسُكُوْتِيْ عَنِ اللَّئِيْمِ جَوَابُ
                                                              مَا أَنَا عَادِمُ الْجَوَابِ وَلَكِنْ         مَا مِنَ الأُسْدِ أَنْ تُجِيْبَ الْكِلاَبَ

                                                              Berkatalah sesukamu untuk menghina kehormatanku
                                                              Diamku dari orang hina adalah suatu jawaban
                                                              Bukan berarti saya tidak memiliki jawaban tetapi
                                                              Tidak pantas singa meladeni anjing.[7]

                                                              Imam Syafi’i juga pernah mengatakan:
                                                              يُخَاطِبُنِيْ السَّفِيْهُ بِكُلِّ قُبْحٍ        فَأَكْرَهُ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ مُجِيْبَا
                                                              يَزِيْدُ سَفَاهَةً فَأَزِيْدُ حِلْمًا         كَعُوْدٍ زَادَهُ الاِحْرَاقُ طِيْبَا

                                                              Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek
                                                              Maka saya tidak ingin untuk menjawabnya
                                                              Dia bertambah pandir dan saya bertambah lembut
                                                              Seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi.[8]

                                                              Subhanallah, demikianlah akhlak yang indah. 

                                                              • Imam Syafi’i dan Tazkiyatun Nufus
                                                                Tazkiyatun Nufus (penyucian jiwa) adalah perkara yang sangat penting sekali, bahkan merupakan salah satu tugas inti dari dari dakwah Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam. 

                                                                “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Al-Jumu’ah: 2).

                                                                Imam Syafi’i menyeru kepada keikhlasan, beliau berkata:
                                                                رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ لَيْسَ إِلَى السَّلاَمَةِ مِنَ النَّاسِ سَبِيْلٌ.  فَانْظُرْ مَا فِيْهِ صَلاَحُ نَفْسِكَ فَالْزَمْهُ وَدَعِ النَّاسَ وَمَا هُمْ فِيْهِ
                                                                “Ridho semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin digapai, tidak ada jalan untuk selamat dari omongan orang. Maka lihatlah kebaikan hatimu, peganglah dan biarkan manusia berbicara sekehendak mereka”.[9]

                                                                وَدِدْتُ أَنَّ كُلَّ عِلْمٍ أَعْلَمَهُ تَعَلَّمَهُ النَّاسُ أُوْجَرُ عَلَيْهِ وَلاَ يَحْمَدُوْنِي
                                                                “Saya ingin kalau setiap ilmu yang saya ketahui dipelajari oleh manusia kemudian saya diberi pahala dan mereka tidak memuji saya”.[10]

                                                                Imam Syafi’i juga menyeru kepada ketaqwaan, beliau berkata:
                                                                مَنْ لَمْ تَعُزُّهُ التَّقْوَى فَلاَ عِزَّ لَهُ
                                                                “Barangsiapa yang tidak mulia dengan taqwa maka tidak ada kemuliaan baginya”.[11]

                                                                Imam Syafi’i menganjurkan  sifat tawadhu’ (rendah diri), beliau berkata:
                                                                يَنْبَغِيْ لِلْفَقِيْهِ أَنْ يَضَعَ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهِ تَوَاضُعًا لِلَّهِ، وَشُكْرًا لِلَّهِ
                                                                “Hendaknya bagi seorang yang berilmu untuk meletakkan tanah di atas kepalanya sebagai sikap tawadhu’ kepada Allah dan syukur kepadaNya”.[12]

                                                                Dekianlah penjelasan tentang prinsip-prinsip imam Syafi’i dalam beragama, semogah kita semua bisa meneladani beliau dalam mengamalkan agama yang mulia ini.

                                                                Sumber : Makalah Dauroh Akbar Medan 2011 yang disampaikan oleh Al-Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A.

                                                                Dari beberapa artikel: http://abangdani.wordpress.com/


                                                                [1] An-Nashîhah Fima Yazibu Muro’atuhu (hal. 13) oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili.
                                                                [2] Tawali Ta’sis hlm. 135 oleh Ibnu Hajar.
                                                                [3]  Menakjubkan ucapan Harun bin Sa’id: “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena kepandainnya dalam berdebat”. (Manaqib Aimmah Arbaah hlm. 109 oleh Ibnu Abdil Hadi).
                                                                [4]  Tawali Ta’sis hlm.113 oleh Ibnu Hajar.
                                                                [5]  Idem hlm. 104.
                                                                [6]  Al-Farqu Baina Nashihah wa Ta’yir hlm. 9, tahqiq Ali bin Hasan al-Halabi.
                                                                [7] Diwan Asy-Syafi’i hal. 44
                                                                [8] Diwan Asy-Syafi’i hal. 156
                                                                [9] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 90 oleh al-Aburri, Hilyatul Auliya’  9/122 oleh Abu Nu’aim , Al-’Uzlah hlm. 76 oleh al-Khotthobi.
                                                                [10] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 115 oleh al-Aburri dan Manaqib Syafi’i 1/257 oleh al-Baihaqi. Imam adz-Dzahabi berkata dalam Siyar 3/3283: “Ucapan dari jiwa yang bersih ini mutawatir dari Syafi’i”.
                                                                [11] Tawali Ta’sis hlm. 121 oleh Ibnu Hajar.
                                                                [12]  Siyar A’lam Nubala 3/3288 oleh adz-Dzahabi.

                                                                0 komentar:

                                                                Posting Komentar