Test Footer 2

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Rabu, 18 Januari 2012

7 Hukum Seputar Shalat Sunnah

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
 
Sebelumnya rumaysho.com telah menerangkan mengenai keutamaan menjaga shalat sunnah dan ditambahkan dengan beberapa anjuran dalam shalat sunnah, kesempatan kali ini akan diangkat mengenai beberapa hukum terkait dengan shalat tersebut. Shalat sunnah sambil duduk adalah di antara yang akan dibahas. Ketika kita dalam kondisi lelah atau pun tidak, shalat tahajud atau shalat sunnah lainnya bisa dilakukan sambil duduk. Namun tentu mengerjakannya sambil berdiri, itu lebih utama. Simak saja dalam bahasan berikut.

Pertama: Shalat sunnah sambil duduk
Dari ‘Imron bin Hushoin –beliau penderita penyakit bawasir-, beliau berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalat sambil duduk. Beliau bersabda,

إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهْوَ أَفْضَلُ ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ
Jika shalat sambil berdiri, maka itu lebih afdhol. Jika shalat sambil duduk, maka pahalanya separuh dari yang berdiri. Barangsiapa shalat sambil tidur, itu separuh dari pahala orang yang duduk.” (HR. Bukhari no. 1115)

Imam Tirmidzi berkata,

هَذَا لِلصَّحِيحِ وَلِمَنْ لَيْسَ لَهُ عُذْرٌ. يَعْنِى فِى النَّوَافِلِ فَأَمَّا مَنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ فَصَلَّى جَالِسًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ الْقَائِمِ
“Hadits ini terdapat dalam kitab Shahih. Hal ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki uzur dan berlaku dalam shalat sunnah. Barangsiapa yang memiliki uzur karena sakit atau selainnya, maka ia boleh shalat sunnah sambil duduk dan pahala yang ia peroleh seperti pahala orang yang shalat sambil berdiri.” (Sunan At Tirmidzi no. 372)

Dalil lainnya yang menunjukkan bahwa shalat sunnah boleh sambil duduk dapat dilihat pada hadits berikut,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِىِّ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِاللَّيْلِ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا وَكَانَ إِذَا قَرَأَ قَائِمًا رَكَعَ قَائِمًا وَإِذَا قَرَأَ قَاعِدًا رَكَعَ قَاعِدًا.
Dari ‘Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqoili, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada ‘Aisyah mengenai shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah menjawab, “Beliau shalat malam amat lama sambil berdiri dan kadang sambil duduk. Jika beliau melaksanakan shalat malam dengan berdiri ketika membaca surat, maka demikian pula ketika ruku’. Jika beliau melakukan shalat malam dengan duduk ketika membaca surat, maka demikian pula ketika ruku’.“(HR. Muslim no. 730)

Al Hasan Al Bashri berkata,

إِنْ شَاءَ الرَّجُلُ صَلَّى صَلاَةَ التَّطَوُّعِ قَائِمًا وَجَالِسًا وَمُضْطَجِعًا.
“Jika seseorang mau, ia boleh shalat sunnah sambil berdiri, duduk atau berbaring.” (Sunan At Tirmidzi no. 372)

Intinya di sini, shalat sunnah boleh dikerjakan sambil duduk meskipun tidak dalam keadaan capek. Namun tentu saja, shalat dalam keadaan berdiri ketika mampu dan kuat, itu yang lebih utama dan mendapatkan pahala berlebih. Sedangkan shalat wajib diharuskan dengan berdiri ketika mampu berdiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Imron bin Al Hushoin,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping” (HR. Bukhari no. 1117)

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (1: 813) berkata, “Orang sakit jika shalat sambil berdiri dan membuat sakitnya bertambah parah, maka ia boleh shalat sambil duduk. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa orang yang tidak mampu berdiri, maka ia boleh shalat sambil duduk.”

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Tidaklah mengapa seorang muslim mengerjakan shalat sunnah sambil duduk meskipun dia dalam kondisi sehat. Jadi, diperbolehkan shalat sunnah sambil duduk. Sedangkan untuk shalat wajib, tidak diperbolehkan dikerjakan sambil duduk jika mampu shalat sambil berdiri. Namun untuk shalat malam, shalat dhuha, shalat sunnah rawatib boleh dikerjakan sambil duduk meskipun dalam kondisi sehat wal afiat. Dengan alasan malas atau badan capek boleh shalat sambil duduk. Aisyah mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir hidup beliau sering shalat sunnah sambil duduk.” (Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/21076)

Kedua: Shalat sunnah di kendaraan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat sunnah di atas kendaraan ketika bersafar dan menghadap ke arah mana saja kendaraan tersebut mengarah. Ketika itu beliau berisyarat dengan kepalanya ke mana arah saja kendaraan berjalan. Namun terkadang beliau melaksanakan shalat di atas kendaraan saat safar dengan terlebih dahulu menghadapkan untanya ke arah kiblat, lalu beliau bertakbir. Lalu setelah itu beliau menghadap ke arah mana saja sesuai arah kendaraan.

Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari no. 400)

Ibnu ‘Umar berkata,

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya menghadap arah kendaraan berjalan, lalu beliau sempat melakukan witir di atas. Namun beliau tidak melakukan shalat wajib di atas kendaraan” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 700)

Keterangan mengenai shalat wajib: Jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia boleh melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua syarat,
  1. Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung mengerjakan shalat fardhu.
  2. Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan.
Jika memang kedua syarat ini terpenuhi, boleh seorang musafir melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraan.

Ketiga: Shalat sunnah saat safar
Ketika safar dibolehkan melakukan shalat sunnah mutlak (seperti shalat malam dan shalat Dhuha) dan terlarang melakukan shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah fajar (shalat sunnah qobliyah shubuh).
Ibnu ‘Umar berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya menghadap ke arah kendaraan mengarah, beliau berisyarat dengan kepalanya.” Ibnu ‘Umar pun melakukan yang demikian. (HR. Bukhari no. 1105). Sedangkan hadits yang menafikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah saat safar dimaksudkan untuk shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah fajar (qobliyah shubuh). Inilah pendapat Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qayyim (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 490).

Yang membuktikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjaga shalat sunnah fajar pada perkataan ‘Aisyah berikut,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memiliki perhatian yang luar biasa untuk shalat sunnah selain shalat sunnah fajar.” (HR. Bukhari no. 1169)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” (Zaadul Ma’ad, 1: 298)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar” (Zaadul Ma’ad, 1: 456). 

Adapun shalat malam (tahajud), shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, masih boleh dilakukan ketika safar. Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya (15: 258).

Keempat: Shalat sunnah secara berjama’ah
Disyari’atkan berjama’ah dalam shalat sunnah selama tidak dijadikan kebiasaan. Namun jika shalat sunnah dilaksanakan sendiri dan di rumah, itu lebih afdhol.

Riwayat ‘Itban bin Malik tersebut memang betul terdapat dalam Fathul Baari sebagai berikut.

مَا رَوَاهُ أَحْمَد مِنْ طَرِيق اَلزُّهْرِيّ عَنْ مَحْمُود بْن اَلرَّبِيع عَنْ عِتْبَان بْن مَالِك " أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَة اَلضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ "
Ada riwayat dari Imam Ahmad dari jalur Az Zuhriy, dari Mahmud bin Ar Robi’, dari ‘Itban bin Malik, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahnya, lalu para sahabat berada di belakang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengikuti shalat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. (Fathul Bari, 3: 57)

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini dikeluarkan pula oleh Muslim dari riwayat Ibnu Wahb dari Yunus dalam hadits yang cukup panjang, tanpa menyebut “shalat Dhuha”. Al Haitsami mengatakan bahwa para perowinya adalah perowi yang shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana syarat Bukhari-Muslim.

Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami  para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.

Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.” (Fathul Bari, 2: 483)

Imam Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”

Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”

Kami harap para pembaca bisa menelusuri pembahasan lainnya: Hukum Shalat Dhuha secara Berjama'ah.

Masih tersisa mengenai hukum seputar shalat sunnah yang telah dibalas sebelumnya. Ada tiga bahasan yang akan dibahas kali ini. Di antaranya adalah bolehnya mengqodho' shalat sunnah rawatib yang tertinggal karena uzur. Simak saja selengkapnya dalam bahasan berikut.

Kelima: Mengqodho’ Shalat Sunnah Rawatib
Masalah mengqodho shalat sunnah rawatib adalah suatu yang diperselisihkan para ulama.
Ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah serta pendapat yang masyhur di kalangan Hambali, shalat rawatib tersebut tidak diqodho selain shalat sunnah Fajr (2 raka’at sebelum Shubuh). Shalat tersebut boleh diqodho’ setelah waktunya.

Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat sunnah ada dua macam, ada yang muaqqot (dibatasi waktunya) dan ada yang ghoiru muaqqot (tidak dibatasi waktunya). Shalat sunnah yang tidak dibatasi waktunya -seperti shalat kusuf (gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), dan shalat tahiyatul masjid-, tidak ada qodho’ pada shalat sunnah tersebut. Adapun shalat sunnah yang dibatasi waktunya –seperti shalat ‘ied, shalat Dhuha, shalat rawatib (yang mengiringi shalat wajib), maka menurut pendapat terkuat di kalangan Syafi’iyah, shalat seperti itu diqodho’. Pendapat ini juga masyhur di kalangan Hambali.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat terkuat menurut ulama Syafi’iyah adalah qodho dalam shalat sunnah rawatib tetap disunnahkan. Demikianlah yang menjadi pendapat Muhammad Al Muzani dan Ahmad dalam salah satu pendapat. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Abu Yusuf dalam salah satu pendapat mereka menyatakan bahwa shalat sunnah rawatib tersebut tidak perlu diqodho’. (Al Majmu’, 4: 43)

Namun pendapat yang menyatakan boleh diqodho’ itulah yang lebih kuat (rojih). Alasannya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Barangsiapa yang tidak shalat dua raka’at sebelum Shubuh, maka hendaklah ia shalat setelah terbitnya matahari.” (HR. Tirmidzi no. 423, kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih)

Begitu pula hadits Ummu Salamah dalam Bukhari dan Muskim bahwa Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam mengqodho’ dua raka’at setelah Zhuhur dilakukan setelah ‘Ashar. Beliau melakukan demikian karena beliau sibuk mengurus urusan Bani ‘Abdil Qois.

Juga ada hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا لَمْ يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلاَّهُنَّ بَعْدَهُ
Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat rawatib 4 raka’at sebelum Zhuhur, beliau melakukannya setelah shalat Zhuhur.” (HR. Tirmidzi no. 426. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Juga ada hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَامَ عَنِ الْوِتْرِ أَوْ نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَ وَإِذَا اسْتَيْقَظَ
Barangsiapa yang ketiduran dan keluputan shalat witir atau lupa mengerjakannya, maka kerjakanlah shalat tersebut ketika ingat atau ketika terbangun.” (HR. Tirmidzi no. 465 dan Ibnu Majah no. 1188. Kata Syaikh Al Albani, hadits ini shahih)

Keenam: Sebaik-baik shalat sunnah adalah yang paling lama berdirinya
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya” (HR. Muslim no. 756).

Imam Nawawi berkata, “Yang dimaksud dengan qunut dalam hadits ini adalah berdiri, menurut kesepakatan para ulama selama yang kuketahui. Hadits ini juga menjadi dalil bagi Imam Asy Syafi’i dan yang berpendapat seperti beliau bahwa lama berdiri itu lebih afdhol dari lamanya ruku’ dan sujud” (Syarh Shahih Muslim, 6: 35-36). 

Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul berkata, “Hadits ini menunjukkan akan keutamaan lama berdiri ketika membaca surat dalam shalat. Hal ini berlaku dalam shalat sunnah maupun shalat fardhu.” (Bughyatul Mutathowwi’, 169).

Ketujuh: Menyambung shalat sunnah dengan shalat fardhu
Berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya,  “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat” (HR. Muslim no. 883).

Ash Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salaam (3: 148) mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya memisah antara shalat sunnah dan shalat wajib, jangan kedua shalat tersebut bersambung langsung. Secara tekstual larangan di atas bermakna diharamkan. Hadits ini tidaklah khusus untuk shalat jum’at saja karena perowi berupaya menunjukkan kekhususan hukum itu untuk shalat jama’ah dengan hadits yang bersifat umum mencakup shalat Jum’at dan shalat lainnya.”

- Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat -

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 20 Shafar 1433 H
www.rumaysho.com

0 komentar:

Posting Komentar