Test Footer 2

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Rabu, 25 Januari 2012

Tagut

Makna Tagut
Tagut”, secara bahasa, diambil dari kata “thagha”, yang artinya ‘melampaui batas’. (Al-Mu’jam Al-Wasith, kata: thagha). Pelakunya disebut “thaghi”. Sedangkan “tagut” adalah shighah mubalaghah (bentuk hiperbola) untuk kata “thaghi”. Dengan demikian, kata “tagut” digunakan untuk menyebut orang yang sering dan banyak melakukan tindakan melampaui batas. (Al-Mu’jam Al-Wasith, kata: thagha)

Definisi “tagut”, secara istilah yang paling terkenal, adalah definisi yang diberikan oleh Ibnul Qayim dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in, 1:50. Beliau memberi pengertian sebagai berikut,

الطَّاغُوت: كُلُّ مَا تَجَاوَزَ بِهِ العَبدُ حَدَّهُ، مِن مَعبُودٍ أَو مَتبُوعٍ أَو مُطَاع
“Tagut adalah setiap makhluk yang dikultuskan, baik dengan disembah, diikuti, atau ditaati.”

Tugas pertama manusia adalah mengingkari tagut
Sesungguhnya, tugas yang pertama kali Allah wajibkan kepada “anak Adam” adalah untuk kufur terhadap tagut dan beriman kepada Allah.

Dalilnya adalah firman Allah taʹala, yang artinya, “Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul pada tiap‐tiap umat (untuk menyerukan), ʹSembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.” (QS. An-Nahl:36)

Adapun bentuk kufur terhadap tagut adalah dengan meyakini bahwa beribadah kepada selain Allah itu adalah suatu kebatilan, meninggalkan dan membenci peribadahan kepada selain Allah, serta mengafirkan dan memusuhi para pelakunya.

Sedangkan makna beriman kepada Allah adalah meyakini bahwa Allah sajalah yang berhak untuk disembah, bukan yang selain‐Nya, mengikhlaskan seluruh macam ibadah kepada Allah, tidak menyelewengkan ibadah kepada sesembahan selain Allah, mencintai dan loyal kepada orang yang ikhlas (dalam beribadah), serta membenci dan memusuhi pelaku kesyirikan.

Itulah agama Nabi Ibrahim. Orang‐orang yang membencinya berarti telah memperbodoh diri mereka sendiri. Agama inilah suri teladan yang telah dikabarkan Allah dalam firman‐Nya, yang artinya, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang‐orang yang bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ʹSesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari kekafiran (kalian) dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama‐lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah:4)

Macam-macam tagut
Tagut itu bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dikultuskan selain Allah dan dirinya rida, baik bentuknya makhluk yang dipertuhankan, tokoh yang diikuti, atau pemimpin yang ditaati dalam perkara‐perkara yang bukan merupakan ketaatan kepada Allah dan Rasul‐Nya.

Jenis tagut sangat banyak, dan gembongnya ada lima macam:

Pertama: Setan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah.
Dalilnya adalah firman Allah taʹala, yang artinya, “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai bani Adam, supaya kalian tidak menyembah setan? Sesungguhnya, setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Yasin:60)

Kedua: Hakim yang zalim yang mengubah hukum‐hukum Allah.
Dalilnya adalah firman Allah taʹala, yang artinya, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang‐orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada risalah yang diturunkan kepadamu dan kepada risalah yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada tagut. Padahal, mereka telah diperintahkan untuk mengingkari tagut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh‐jauhnya.” (QS. An-Nisaʹ:60)

Ketiga: Orang‐orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah.
Dalilnya adalah firman Allah taʹala, yang artinya, “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, berarti mereka itu adalah orang‐orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah:44)

Keempat: Sesuatu selain Allah yang mengaku mengetahui ilmu gaib.
Dalilnya adalah firman Allah taʹala, yang artinya, “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui hal gaib, dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang hal gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai‐Nya. Maka, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga‐penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin:26–27)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Dan hanya di sisi Allahlah kunci‐kunci semua hal gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-Anʹam:59)

Kelima: Sesuatu, selain Allah, yang disembah dan dia rida dengan penyembahan tersebut.
Dalilnya adalah firman Allah taʹala, yang artinya, “Dan barangsiapa di antara mereka yang mengatakan, ʹSesungguhnya, aku adalah tuhan selain daripada Allah,ʹ maka Kami beri balasan bagi orang itu dengan Jahanam. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang‐orang zalim.” (QS. Al-Anbiyaʹ:29)

Syarat sah iman adalah mengingkari tagut
Seseorang tidaklah dikatakan beriman kepada Allah kecuali dengan ingkar kepada tagut. Dalilnya adalah firman Allah taʹala, yang artinya, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh, telah jelas (perbedaan) ar-rusyd dengan al-ghay. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada al-’urwatul wutsqa (tali yang amat kuat) yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:256)

Ar-rusyd (agama yang lurus) adalah agama Muhammad, sedangkan al-ghay (agama yang menyimpang) adalah agama Abu Jahal. Yang dimaksud dengan al-’urwatul wutsqa (tali yang amat kuat) adalah syahadat “la ilaha illallah”.

Kalimat syahadat ini mengandung an-nafyu (menafikan ibadah dari selain Allah) dan al-itsbat (menetapkan ibadah hanya untuk Allah). Maksud kalimat ini adalah menafikan seluruh bentuk ibadah dari selain Allah ta’ala dan menetapkan seluruh bentuk ibadah tersebut hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Segala puji bagi Allah. Dengan nikmat-Nya, kebajikan-kebajikan pun menjadi sempurna.

Referensi:
I’lamul Muwaqi’in. Ibnul Qayim Al-Jauziyah. Dar Jil. Beirut. 1973.
Artikel: www.Yufidia.com

0 komentar:

Posting Komentar