Test Footer 2

Main Menu (Do Not Edit Here!)

Selasa, 03 Juli 2012

Kisah-Kisah Mencengangkan Para Ulama Menuntut Ilmu

[Bagian pertama]

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,
«الحكايات عن العلماء ومجالستهم أحب إلي من كثير من الفقه؛ لأنها آداب القوم وأخلاقهم»
Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [1]

Demikianlah para ulama menerangkan bahwa terkadang membaca kisah-kisah para nabi, orang shalih dan ulama lebih disukai daripada mempelajari teori, karena mereka adalah praktek nyata dari teori yang dipelajari. Kemudian jika kira merasa futur/sedang tidak semangat dalam beragama maka salah satu cara agar semangat lagi adalah dengan melihat dan membaca kembali kisah-kisah mereka.

‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib – Zainul ‘Abidin- berkata,
كنا نعلم مغازي النبي صلى الله عليه و سلم وسراياه كما نعلم السورة من القرآن
“Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana al-Qur’an diajarkan kepada kami”[2]

Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُون
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihis salam dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yusuf:111)

Kemudian kami bawakan kisah-kisah para ulama, karena mereka adalah manusia biasa seperti kita untuk menghilangkan komentar yang terkadang terlintas di hati kita yang lemah seperti,
“Mereka kan nabi dan Rasul, pantesan bisa seperti itu”
berikut ringkasan kisah mereka, semoga bisa menambah semangat kita

Perjalanan jauh untuk ilmu

Seseorang jika ingin mendapatkan ilmu maka ia harus keluar dari rumahnya dan mencari ilmu. Imam Bukhari berkata dalam shahihnya,
باب الخروج في طلب العلم
“Bab keluar untuk menuntut ilmu”

Seorang tabi’in terkenal Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullah berkata,
إن كنت لأسير الليالي والأيام في طلب الحديث الواحد
“Sesungguhnya aku berjalan berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits.”[3]

Ibnul Jauziy berkata,
طاف الإمام أحمد بن حنبل الدنيا مرتين حتى جمعالمسند
“Imam Ahmad bin Hambal keliling dunia dua kali hingga dia bisa mengumpulkan musnad.”[4]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bercerita sendiri,
سَافَرت فى طلب الحَدِيث وَالسّنة إِلَى الثغور والشامات والسواحل وَالْمغْرب والجزائر وَمَكَّة وَالْمَدينَة والعراقين وَأَرْض حوران وَفَارِس وخراسان وَالْجِبَال والأطراف
“Aku mengembara mencari hadist dan sunnah ke Tsughur, wilayah Syam, Sawahil, Maroko, Al-Jazair, Makkah, Madinah, Iraq, Wilayah Hawran, Persia, Khurasan, gunung-gunung dan penghujung dunia.”[5]

Dari Abdurrahman, aku mendengar Ubai berkata,
أول سنة خرجت في طلب الحديث أقمت سبع سنين أحصيت ما مشيت على قدمي زيادة على ألف فرسخ : لم أزل أحصى حتى لما زاد على ألف فرسخ تركته
“Tahun pertama mencari hadits, aku keluar mengembara mencari hadits selama 7 tahun, menurut perkiraanku aku telah berjalan kaki lebih dari seribu farsakh (+ 8 km). Aku terus terus menghitung hingga ketika telah lebih dari seribu farsakh, aku menghentikannya.”[6]

Ibnu mandah berkata,
طُفت الشَّرقَ وَالغربَ مرَّتين
“saya mengelilingi timur dan barat (untuk menuntut ilmu) sebanyak dua kali”[7]

Lombok, pulau seribu masjid
5 Sya’banl 1433 H, Bertepatan 25  Juni 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com


[1] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  I/509 no.819, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah
[2] “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi 2/195, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, 1430 H, syamilah
[3] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  I/395 no.569, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah
[4] Shaidul Khatir hal.246, dikutip dari www.alhanabila.com
[5] Al-Maqshadul Arsyad 1/113-114, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, cet.I, 1410 H, Syamilah
[6] Al-Jarh wa At-ta’dil 1/359,  Dar Ihya’ At-turats, Beirut, cet. I, 1427 H, Syamilah
[7] Siyar A’lam An-nubala 12/503 Darul Hadits, koiro, 1427 H, syamilah


[Bagian kedua]

Bersusah payah dan Berletih-letih menuntut ilmu

Para ulama sering menyebutkan hal ini salah satunya adalah Yahya bin Abi Katsir rahimahullah, beliau berkata,
ولا يستطاع العلم براحة الجسد
“Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh)”[1]

Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
لا يطلب هذا العلم من يطلبه بالتملل وغنى النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذلة النفس، وضيق العيش، وخدمة العلم، أفلح
“Tidak mungkin menuntut ilmu orang yang pembosan, merasa puas jiwanya kemudian ia menjadi beruntung, akan tetapi ia harus menuntut ilmu dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup dan berkhidmat untuk ilmu, maka ia akan beruntung.”[2]

Abu ‘Amr bin Ash-Shalah menceritakan biografi Imam Muslim rahimahullah, beliau berkata,
وَكَانَ لمَوْته سَبَب غَرِيب نَشأ عَن غمرة فكرية علمية
“tentang sebab wafatnya (imam muslim) adalah suatu yang aneh, timbul karena kepedihan/kesusahan hidup dalam ilmu.”[3]

Yahya Abu zakaria berkata,
وذكر لي عمي عبيد الله قال: قفلت من خراسان ومعي عشرون وقرا من الكتب، فنزلت عند هذا البئر -يعني: بئر مجنة- فنزلت عنده اقتداء بالوالد
“Pamanku Ubaidillah bercerita kepadaku, “aku kembali dari Khurasan dan bersamaku ada 20 beban berat yang berisikan buku-buku. Aku singgah di sebuah sumur –yaitu sumur Majannah- aku lakukan karena mencontoh ayahku.”[4]

Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
ما أفلح فى العلم إلا من طلبه فى القلة، ولقد كنت أطلب القرطاس فيعسر علىَّ. وقال: لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح
“tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu, kecuali orang yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan aku dahulu mencari sehelai kertaspun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”[5]

Maka bandingkanlah dengan upaya kita menuntut ilmu sekarang?

Menahan lapar 

Abdurrahman bin Abu Zur’ah berkata, saya mendengar ayahku berkata,
بقيت بالبصرة في سنة أربع عشرة ومائتين ثمانية أشهر وكان في نفسي أن أقيم سنة فانقطع نفقتي فجعلت أبيع ثياب بدني شيئا بعد شيء حتى بقيت بلا نفقة ومضيت أطوف مع صديق لي إلى المشيخة وأسمع منهم إلى المساء فانصرف رفيقي ورجعت إلى بيت خال فجعلت أشرب الماء من الجوع ثم أصبحت من الغد وغدا علي رفيقي فجعلت أطوف معه في سماع الحديث على جوع شديد فانصرف عني وانصرفت جائعا  فلما كان من الغد غدا علي فقال مر بنا إلى المشايخ   قلت أنا ضعيف لا يمكنني قال ما ضعفك قلت لا أكتمك أمري قد مضى يومان ما طعمت فيهما
“Aku menetap di Bashrah pada tahun 214 Hijriyah. Sebenarnya aku ingin menetap di sana selama setahun. Namun perbekalanku telah habis dan terpaksa aku menjual bajuku helai demi helai, sampai akhirnya aku tidak punya apa-apa lagi. Tapi aku terus pergi bersama teman-temanku kepada para syaikh dan aku belajar kepada mereka hingga sore hari. Ketika teman-temanku telah pulang, aku pulang ke rumahku dengan tangan hampa dan Cuma minum air untuk mengurangi rasa laparku. Keesokan harinya teman-temanku datang dan aku pergi belajar bersama mereka untuk mendengar hadits dengan menahan rasa lapar yang sangat. Keesokan harinya lagi mereka datang lagi dan mengajakku pergi. Aku berkata, “aku sangat lemah dan tidak bisa pergi”. Mereka berkata, “apa yang membuatmu lemah?”. Aku berkata, “tidak mungkin kau sembunyikan dari kalian, aku belum makan apa-apa sejak dua hari yang lalu.”.”[6]

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah berkata,
وكنت أقتات بخرنوب الشوك، وقمامة البقل، وورق الخس من جانب النهر والشط، وبلغت الضائقة في غلاء نزل ببغداد إلى أن بقيت أياما لم آكل فيها طعاما، بل كنت أتتبع المنبوذات أطعمها، فخرجت يوما من شدة الجوع إلى الشط لعلي أجد ورق الخس أو البقل، أو غير ذلك فأتقوت به. فما ذهبت إلى موضع إلا وغيري قد سبقني إليه وإن وجدت أجد الفقراءيتزاحمون عليه فأتركه حبا
“Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untuk ku makan. Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya, maka aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.”[7]

Ibrahim bin Ya’qub berkata,
كان أَحْمَد بن حنبل يصلي بعبد الرزاق فسها يوما فِي صلاته فسأله عبد الرزاق فأخبره أنه لم يطعم شيئًا منذ ثلاث
“Imam Ahmad bin Hambal shalat bersama Abdurrazzaq. Suatu hari ia lupa dalam shalatnya. Maka Abdurrazzaq bertanya mengapa ia bisa lupa. Dia (Imam Ahmad) memberitahu bahwa ia belum makan apa-apa sejak tiga hari yang lalu.[8]

Sufyan bin ‘uyainah berkata,
جَاعَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ جُوعًا شَدِيدًا مَكَثَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ لَا يَأْكُلُ شَيْئًا فَمَرَّ بِدَارٍ فِيهَا عُرْسٌ فَدَعَتْهُ نَفْسُهُ إِلَى أَنْ يَدْخُلَ فَعَصَمَهُ اللهُ وَمَضَى إِلَى مَنْزِلِ ابْنَتِهِ فَأَتَتْهُ بِقُرْصٍ فَأَكَلَهُ وَشَرِبَ مَاءً فَتَجَشَّى
“Sufyan Ats-Tsauri pernah merasa sangat lapar. Sudah tiga hari ia tidak makan apapun. Ketika melewati sebuah rumah yang ada pesta di dalamnya. Dia terdorong ingin datang ke sana namun Allah menjaganya (karena haram hukumnya datang jika tidak diundang –pent), akhirnya ia menuju ke rumah putrinya. Putrinya menyuguhkan roti yang bulat pipih, kemudian ia memakannya dan meminum air hingga bersendahawa.”[9]

Lombok, pulau seribu masjid
5 Sya’banl 1433 H, Bertepatan 25  Juni 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com

[1] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  I/348 no.553, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah
[2] Tadribur Rawi 2/584, Darut Thayyibah, Syamilah
[3] Shiyanah Shahih Muslim hal. 62, darul Gharbil Islamiy, Beirut, cet.II, 1408 H, Syamilah
[4] [4] Siyar A’lam An-nubala 12/503 Darul Hadits, koiro, 1427 H, syamilah
[5] Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat  hal. 54, Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Syamilah
[7] Dzail Thabaqat Hanabilah 2/203-204, Maktabah Abikan, Riyadh, 1425 H, Syamilah
[8] Thabaqat Al-Hanabilah hal. 99, Darul Ma’rifah, Beirut, Syamilah
[9] Hilyatul Aulia’ 6/373, Darul Kitab Al-‘Arabiy, Beirut, Syamilah


[Bagian ketiga]

Mengorbankan harta yang tidak sedikit


Pununtut ilmu agama harus siap jauh dari dunia dan ketenarannya, hidup sederhana dan bisa jadi mereka adalah orang yang miskin karena mengorbankan harta mereka.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,
لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضربه الفقر ويؤثره على كل شئ
“seseorang tidak akan mencapai ilmu ini sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga ia menjadi fakir dan berpengaruh kepada semuanya.”[1]

Yang cukup terkenal adalah kisah ulama menuntut ilmu sampai-sampai harus menjual atap rumah mereka.

Ibnu Al-Qasim berkata,
قال ابن القاسم: أفضى بمالك طلب العلم إلى أن نقض سقف بيته فباع خشبه، ثم مالت عليه الدنيا
“Mencari ilmu juga menyebabkan Imam Malik membongkar atap rumahnya dan menjual kayunya. Kemudian setelah itu dunia berdatangan kepadanya.”[2]

Al-Khatib al-Baghdadi membawakan riwayat,
أنفق ابن عائشة على إخوانه أربع مائة ألف دينار في الله، حتى التجأ إلى أن باع سقف بيته
“Ibnu Aisyah membelanjakan harta untuk saudara-saudaranya sebanyak empat ratus dinar, hingga ia menjual atap rumahnya.”[3]

Muhammad bin Salam berkata,
أنفقت في طلب العلم أربعين ألفا، وأنفقت في نشره أربعين ألفا، وليت ما أنفقت في طلبه كان في نشره
“Aku ketika menuntut ilmu menghabiskan 40.000 dan untuk menyebarkannya 40.000, sekiranya kuhabiskan ketika mencarinya, kuhabiskan ketika menyebarkannya.”[4]

Dan sebuah kisah nyata terkenal di mana Ibu dari Rabi’ah Ar-ra’yi guru Imam Malik menghabiskan 30.000 dinar untuk pendidikan anaknya, tatkala suaminya pulang dan menagih harta yang di titip terjadi perbincangan,
فقالت أمه: أيما أحب إليك ثلاثون ألف دينار، أَوْ هذا الَّذِي هو فيه من الجاه، قَالَ: لا وَالله إِلا هذا، قالت: فإني قد أنفقت المال كله عَلَيْهِ، قَالَ: فوالله ما ضيعته
“Ibu Rabi’ah berkata kepada suaminya, “mana yang engkau sukai antara 30.000 dinar atau kedudukan yang dia (anakmu) peroleh?”, suaminya berkata, “demi Allah aku lebih suka yang ini (kedudukan ilmu anaknya), Ibu rabi’ah berkata, “Saya telah menghabiskan seluruh harta tersebut untuk mendapatkan seperti sekarang ini”, suaminya berkata, “Demi Allah, engkau tidak menyia-nyiakannya.”[5]

Bangkrut (tidak punya harta lagi) karena menuntut ilmu

Para ulama mencurahkan segalanya begitu juga harta mereka, sampai-sampai ada ungkapan dari beberapa orang ulama salah satunya yaitu Syu’bah, beliau berkata,
مَنْ طَلَبَ الْحَدِيثَ أَفْلَسَ
“Barangsiapa yang menuntut ilmu hadist/belajar agama maka akan bangkrut[6]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لَا يَصْلُحُ طَلَبُ الْعِلْمِ إِلَا لِمُفْلِس
“Tidak layak bagi orang yang menuntut ilmu kecuali orang yang siap miskin/bangkrut[7]

Ibnu Sa’ad berkata, aku mendengar Musa bin Dawud berkata,
أفلس الهيثم بن جميل في طلب الحديث مرتين
“Al-Haitsam bin Jamil bangkrut dua kali Ketika mencari hadits.”[8]

Ibnu ‘Adi berkata mengisahkan tentang Yahya Ibnu Ma’in,
كان معين على خراج الري، فمات، فخلف ليحيى ابنه ألف ألف درهم، فأنفقه كله على الحديث حتى لم يبق له نعل يلبسه.
“Ma’in [Ayah Yahya Ibnu Ma’in] terkena radang tenggorokan, kemudian meninggal, ia mewariskan untuk Yahya Ibnu Ma’in sebanyak 1.000.000 dirham, maka ia habiskan seluruhnya untuk mencari hadits sampai-sampai tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang ia pakai.”[9]

Abdurrahman bin Abu Zur’ah berkata, saya mendengar ayahku berkata,
بقيت بالبصرة في سنة أربع عشرة ومائتين ثمانية أشهر وكان في نفسي أن أقيم سنة فانقطع نفقتي فجعلت أبيع ثياب بدني شيئا بعد شيء حتى بقيت بلا نفقة
“Aku menetap di Bashrah pada tahun 214 Hijriyah. Sebenarnya aku ingin menetap di sana selama setahun. Namun perbekalanku telah habis dan terpaksa aku menjual bajuku helai demi helai, sampai akhirnya aku tidak punya apa-apa lagi.”[10]


Lombok, pulau seribu masjid
5 Sya’banl 1433 H, Bertepatan 25  Juni 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com

[1] Al-Majmu’ 1/35, Imam An-Nawawi, Syamilah
[2] Tartibul Madarik 1/31, Syamilah
[3] Tarikh Baghdadi 12/17, Darul Gharbil Islami, Beirut, cet.I, 1422 H, syamilah
[4] idem
[5] Tarikh Baghdad 9/414, Darul Gharbil Islami, Beirut, cet.I, 1420 H, Syamilah
[6] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  I/410 no.597, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah
[7] Al-Jami’ liakhlaqir rawi,  1/104 no.71, Maktabah Ma’arif, Riyadh, Syamilah
[8] Rihlah fi thalabil hadits hal. 205, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet.I, 1395 H, Syamilah
[9] Siyar A’lam An-Nubala 21/85, Muassasah Risalah, syamilah
[10]Tarikh Baghdad 2/74-75, Syamilah


[Bagian keempat]

Berlajar kepada banyak guru
Kita selayaknya tidak mencukupkan diri dengan satu guru saja, karena ilmu itu sangat luas, sampai-sampai ulama berkata, salah satunya adalah Hammad bin Zaid rahimahullah berkata,
إنك لا تعرف خطأ معلمك حتى تجالس غيره
“sesungguhnya engkau tidak mengetahui kesalahan gurumu sampai engkau berguru dengan yang lain.[1]

Dari Abdurrahman bin Abi Abdillah bin Mandah berkata,
وسمعت أبي يقول: كتبت عن ألف وسبعمائة. قال جعفر المستغفري: ما رأيت أحدًا أحفظ من أبي عبد الله بن منده، سألته يومًا: كم يكون سماعات الشيخ؟ قال: تكون خمسة آلاف منّ. قلت: المنّ يجيء عشرة أجزاء كبار.
“saya mendengar ayahku berkata, “saya menulis/belajar dari 1.700 guru”. Ja’far Al-Mustaghfiri berkata, “saya tidak melihat seseorangpun yang lebih hapal dari Abu Abdillah bin Mandah, saya bertanya kepadanya suatu hari, “berapa yang anda pelajari dari para syaikh?”. Beliau berkata, “lima ribu mann”. Azd-Dzahabi berkata, “ satu mann sama dengan 10 juz besar”.[2]

Ibnu An-Najjar berkata,
سمعت من يذكر أن عدد شيوخه سبعة آلاف شيخ وهذا شيء لم يبلغه أحد، وكان مليح التصانيف كثير النشوار والأناشيد لطيف المزاح ظريفًا حافظًا واسع الرحلة ثقة صدوقًا دينًا سمع منه مشايخه وأقرانه وحدثنا عنه جماعة
“saya mendengar ada yang mengatakan bahwa gurunya 7.000 syaikh dan tidak ada yang seperti ini. Karangannya sangat menarik dan tersebar/ dia juga menulis syair ringan dan menghibur, seorang hafidz, sering berpetualang (menuntut ilmu), terpercaya dan jujur. Para guru dan orang yang sezaman dengannya belajar dari beliau dan begitupula sejumlah perawi.”[3]

Ibnu As-Sa’iy berkata tentang Ibnu An-Najjar,
قال ابن الساعي: اشتملت مشيخته على ثلاثة آلاف شيخ وأربع مائة امرأة
“para guru Ibnu An-Najjar mencapai 3.000 syaikh dan 400 guru wanita.”[4]

Belajar dengan waktu yang lama

Imam Syafi’i rahimahullahu, berkata,

أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ       سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌوَبُلْغَةٌ        وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ
Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara
Akan aku kabarkan padamu perinciannya degan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup
Bimbingan ustadz dan waktu yang lama [Diwan Syafi’i]


Ibnul Mubarak pernah di tanya,
: قيل لابن المبارك، إلى متى تطلب العلم؟ قال: «حتى الممات إن شاء الله
“Sampai kapan engkau menuntut ilmu? Beliau berkata, “sampai mati insyaAllah”[5]

Abu ‘Amr Ibnul ‘Ala’ pernah ditanya,
سألت أبا عمرو بن العلاء حتى متى يحسن بالمرء أن يتعلم؟ فقال: «ما دام تحسن به الحياة»
“sampai kapan seseorang tekun menuntut ilmu? Beliau menjawab, “selama ia masih hidup.”[6]

Kemudian kisah Abu Zur’ah yang masih bergelut dengan ilmu sampai ketika dekat dengan kematian sakratul maut. Abu  Ja’far Muhammad bin Ali As- Saawi menceritakan,
حَضَرْتُ أَبَا زُرْعَةَ بِمَاشَهْرَانِ وَكَانَ فِي السَّوْقِ، وَعِنْدَهُ أَبُو حَاتِمٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ وَارَةَ، وَالْمُنْذِرُ بْنُ شَاذَانَ، وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ فَذَكَرُوا قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ» , فَاسْتَحْيُوا مِنْ أَبِي زُرْعَةَ، وَقَالُوا: تَعَالَوْا نَذْكُرُ الْحَدِيثُ، فَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ وَارَةَ: حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو عَاصِمٍ قَالَ: ثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ , عَنْ صَالِحٍ وَلَمْ يُجَاوِزْ وَالْبَاقُونَ سَكَتُوا، فَقَالَ أَبُو زُرْعَةَ وَهُوَ فِي السَّوْقِ:، ثنا بُنْدَارٌ، قَالَ: ثنا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ , عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي عَرِيبٍ , عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ» وَمَاتَ رَحِمَهُ اللَّهُ

“saya mendatangi Abu Zur’ah yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, ada bersamanya abu hatim, Muhammad bin Muslim bin Warah, Al-Mundzir bin Syadzan dan sekelompok ulama lainnya. Kemudian mereka membicarakan hadits,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Talqinkanlah kepada orang yang sedang menghadapi kematian diantara kalian kalimat ‘laa ilaaha illallahu’.”

Kemudian mereka merasa malu terhadap Abu Zur’ah. Lalu mereka berkata, “mari kita bicarakan hadits ini”.
Abdullah bin Warah berkata, “kami dapatkan hadits ini dari Adh-Dhahak bin Mukhlad Abu Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih, namun dia tidak bisa meneruskan perawi selanjutnya. Sedangkan ulama yang lain terdiam.
Maka berkata Abu Zur’ah dan beliau dalam keadaan sakaratul maut , “Kami mendapati riwayat ini dari Bundaar dari Abu Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi ‘Ariib dari Kutsair bin Murrah Al-Hadhrami dari Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Talqinkanlah kepada orang yang sedang menghadapi kematian diantara kalian kalimat ‘laa ilaaha illallahu’.”

Kemudian beliau rahimahullahu meninggal dunia[7]

Penutup

Dan masih sangat banyak kisah para ulama yang mencengangkan dan seakan-akan adalah dongeng, akan tetapi inilah kenyataannya. Kisah lainnya semisal:
  • Ibnu Thahir al-Maqdisy yang dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. 
  • Al-Imam anNawawy setiap hari membaca 12 jenis ilmu yang berbeda
  • Ibnul Jahm membaca kitab jika beliau mengantuk, pada saat yang bukan semestinya. Sehingga beliau bisa segar kembali.
  • Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) jika akan masuk kamar mandi berkata kepada orang yang ada di sekitarnya: Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di kamar mandi.
  • Al-Hasan alLu’lu-i selama 40 tahun tidaklah tidur kecuali kitab berada di atas dadanya.
  • Al-Hafidz alKhathib tidaklah berjalan kecuali bersamanya kitab yang dibaca, demikian juga Abu Nu’aim al Asbahaany (penulis kitab Hilyatul Awliyaa’)
  • Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy
  • Ibnul Jauzy  sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab
  • Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3 majelis ( 3 malam), setiap malam mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda sholat)
  • Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqy membaca Musnad Ahmad dalam 30 majelis (pertemuan)
  • Al-‘Izz bin Abdissalaam membaca kitab Nihaayatul Mathlab 40 jilid dalam tiga hari (Rabu, Kamis, dan Jumat) di masjid.
  • Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rata-rata menghabiskan waktu selama 12 jam sehari untuk membaca buku-buku hadits di perpustakaan.
  • Gholib bin Abdirrahman bin Gholib al-Muhaariby telah membaca Shahih alBukhari sebanyak 700 kali.
  • Ismail bin Zaid dalam semalam menulis 90 kertas dengan tulisan yang rapi.
  • Ahmad bin Abdid Da-im al-Maqdisiy telah menulis / menyalin lebih dari 2000 jilid kitab-kitab. Jika senggang, dalam sehari bisa menyelesaikan salinan 9 buku. Jika sibuk dalam sehari menyalin 2 buku.
  • Ibnu Thahir berkata: saya menyalin Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abi Dawud 7 kali dengan upah, dan Sunan Ibn Majah 10 kali
  • Ibnul Jauzy dalam setahun rata-rata menyalin 50-60 jilid buku
Semoga kita bisa sedikit meneladani mereka rahimahumullah. amin


Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
13 Sya’ban 1433 H, Bertepatan 3 Juli2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com


[1] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  I/414 no.607, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah
[2] Tadzkiratul Huffaz 3/159, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet.I, 1419 H, Syamilah
[3] Tadzkiratul Huffaz 4/75, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet.I, 1419 H, Syamilah
[4] Siyar A’lam An-Nubala 16/356, Muassasah Risalah, syamilah
[5] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  no.586, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah
[6] aami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi  no.587, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah
[7] Ma’rifah ‘ulum Al-Hadits hal. 76, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. II, 1397 H, Asy-Syamilah


[Bagian Lima - Tambahan]

Baqi bin Mikhlad Al Andalusy -rahimahullah- yang pernah berkeliling ke berbagai negara di dunia dengan hanya berjalan kaki !!!, Beliau berkata,”Sungguh , saya mengetahui seseorang yang ketika menuntut ilmu lewat berhari-hari tidak memiliki makanan, kecuali daun kubis yang sudah terbuang.” [ lihat Tadzkiratul Huffadzh, Imam Adz Dzahabi -rahimahullah- 2/630]

Ibnu Kharras -rahimahullah- berkata, ”Saya minum kencing saya sendiri ketika saya dalam perjalanan menuntut ilmu, hal ini terjadi lima kali !! (seseorang tidak akan meminum kencingnya sendiri kecuali dalam keadaan sangat haus yang haus ini dapat mengakibatkan kematian)”. [lihat Al Ibar Khoiri Man Ghabar, Imam Adz Dzahabi -rahimahullah- 2/70].

Abu Ali Al Hasan bin Ali Al Balkhi -rahimahullah- berkata, ”Aku pernah tinggal di Asqolan untuk belajar dari Ibnu Mushahhih -rahimahullah- dan lainnya. Bekal nafkah saya semakin menipis hingga beberapa hari saya tidak bisa makan. Saya ingin menulis pelajaran, namun tidak bisa (karena perut sangat lapar). Saya kemudian pergi ke toko roti dan duduk di dekat roti tersebut hingga mencium aromanya agar saya punya tenaga. Kemudian Alloh Azza wa Jalla membantu saya.” [lihat Tadzkiratul Huffadzh, Imam Adz Dzahabi -rahimahullah- 4/1173]

Penuturan dari Imam Muhammad bin Thahir Al Maqdisi -rahimahullah- , yang menceritakan tentang perjalanan menuntut ilmu dan kesulitan yang beliau alami, beliau berkata,” Saya tinggal di Tunis bersama Abu Muhammad bin Al Haddad -rahimahullah- , bekal saya semakin menipis hingga tersisa hanya satu dirham. Saat itu saya butuh roti dan kertas untuk menulis pelajaran. Jika dipakai beli kertas maka saya tidak akan makan roti. Kebingungan ini berlanjut hingga tiga hari (beli roti atau beli kertas –red), selama itu pula Saya tidak merasakan makanan sama sekali. Pada hari keempat, dalam hati saya berkata,”Kalau saya punya kertas, maka saya tidak akan bisa menulis karena sangat lapar. Saya taruh uang satu dirham tersebut di mulut dan saya putuskan untuk keluar dan membeli roti. Tiba-tiba tanpa terasa uang satu dirham tersebut tertelan oleh mulut ke dalam perut, kemudian saya tertawa. Abu Thahir -rahimahullah- mendatangi saya dan bertanya,”Apa yang membuatmu tertawa? Saya menjawab,”Khoir (sesuatu yang baik).” Beliau meminta saya untuk menceritakannya , namun saya tolak. Ia terus memaksa sehingga saya ceritakan kejadiannya, lalu Beliau mengajak saya ke rumahnya dan memberi saya makanan.” [lihat Tadzkiratul Huffadh, Imam Adz Dzahabi -rahimahullah- 4/1246]

Imam Al Bukhori -rahimahullah- berkata,”Saya menemui Adam bin Abi Iyyas di Asqolan untuk belajar darinya. Bekal saya semakin berkurang hingga saya makan rerumputan.”

Inilah Produktifitas Ulama Salaf

Imam Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah- ketika menulis biografi Ibnu Uqoil berkata, ”Ibnu Uqail memilki banyak karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu. lebih dari 20 karya tulis. Karyanya yang paling besar adalah kitab “ Al Funun” yaitu kitab yang besar sekali.” Al Hafidz Adz Dzahabi -rahimahullah- berkata,” Tidak pernah ditulis di dunia ini yang lebih besar dari kitab “Al Funun”, Saya diberitahu oleh orang yang pernah melihatnya milik seseorang, kitab ini lebih dari 400 jilid !!..” Ibnu Rajab -rahimahullah- menambahkan,” Sebagian orang menyebutkan kitab Al Funun terdiri dari 800 jilid !!

Al Khatib Al Baghdadi -rahimahullah- berkata, ”Saya mendengar As Samsami menceritakan bahwa Imam Ibnu Jarir At Thabari -rahimahullah- tinggal selama 40 tahun dan setiap harinya menulis 40 lembar. Muridnya, Abu Muhammad Al Farghani -rahimahullah- bercerita bahwa beberapa murid Ibnu Jarir menghitung hari-hari dari hidup beliau semenjak baligh hingga wafat dalam usia 86 tahun. Kemudian mereka membagi karyanya dengan usianya, hingga berjumlah 14 lembar setiap hari. Ini sesuatu yang tidak akan mungkin dilakukan oleh seseorang makhluk tanpa bimbingan yang baik dari Alloh Azza wa Jalla .” [lihat : Tarikh Baghdad, Al Baghdadi 2/162]

Imam Ibnul Jauzi -rahimahullah- berkata, ”Saya telah menulis dengan tangan saya ini 2000 jilid kitab. Dan orang-orang yang bertaubat melalui tangan saya ini mencapai 100.000 orang." [lihat: Tadzkiratul Huffadh, Adz Dzahabi -rahimahullah- 4/1242]

Angka yang fantastis !! ini berarti kita memperkirakan jumlah lembaran setiap jilidnya ada 100 lembar. Dengan demikian jika diperkirakan  jumlah yang ditulisnya sendiri sekitar 200.000 lembar atau sama dengan 400.000 halaman karena setiap lembar terdiri atas 2 halaman..

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata, ”Syaikh Abul Faraj (yakni Imam Ibnul Jauzi ) seorang mufti yang banyak menulis. Beliau memiliki karya tulis dalam tema-tema beragam. Saya mencoba menghitungnya dan saya melihatnya lebih dari 1.000 karya tulis.”[lihat : Tadzkiratul Huffadzh, Adz Dzahabi -rahimahullah- 1/415]

Imam Ibnu Rajab Al Hambali ketika menulis biografi Imam Ibnul Jauzi -rahimahullah- berkata, ”Tidak ada disiplin ilmu yang ada kecuali beliau memiliki karangan seputarnya. beliau (Ibnul Jauzi) ditanya tentang jumlah karangannya, beliau menjawabnya lebih dari 340 Kitab .”

Al Muwaffaq Abdul latif -rahimahullah- berkata “Ibnul Jauzi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya sedikitpun, Beliau menulis dalam sehari empat buah buku tulis, dan setiap tahunnya karya tulis beliau dicetak 50-60 Jilid.”

Syaikh Al Qummi -rahimahullah- menyebutkan bahwa serbuk pena Imam Ibnul jauzi” (yakni apa yang jatuh dari pensil ketika di raut digunakan untuk menulis hadits, dikumpulkan hingga banyak sekali. Ibnu jauzi mewasiatkan agar digunakan untuk memanasi air yang akan dipakai kelak untuk memandikan mayatnya. Kemudian wasiat itu ditunaikan dan cukup (untuk memanaskan air) dan masih ada yang tersisa darinya.” [lihat : Dzail Thabaqotil Hanabilah , Imam Ibnu rajab -rahimahullah- 1/412]

Imam Yahya bin Ma’in -rahimahullah- berkata, ”Saya telah menulis dengan tangan saya ini satu juta hadits,” kemudian Adz Dzahabi mengomentari dan berkata,” yaitu jumlah ini untuk satu hadits.” [lihat Al Kuna Wal Qaab, Al Qummy 1/242]

Al Kautsari berkata,” Tafsir Abu Yusuf Al Qozwaini yang berjudul “ Hadaaiq Dzaata bahjah” dikatakan paling kurang ada 300 jilid. Al hafidz Ibnu Syahin juga memilki tafsir sebanyak 1.000 Jilid. Al Qadli Abu Bakar Ibnul Arabi -rahimahullah-  (catatan: Beliau bukanlah Ibnu Arabi –sufi sesat- red ) memiliki kitab Anwaarul Fajr dalam bidang tafisr sebanyak 80.000 lembar, dan Ibnu An Nuqaib Al Maqdisi memiliki tafsir sekitar 100 Jilid.” [lihat : Maqalatul Kautsari]

Profesor Muhammad Al hajawi berkata, ”Imam Abid Dunya -rahimahullah-  meninggalkan 1.000 Kitab, Imam Ibnu Asakir -rahimahullah-  menuliskan kitabnya’ Tarikh Al Dimasqi” dalam 80 Jilid. Imam Abu Abdillah Al Hakam Al Naisaburi -rahimahullah- menulis 1.500 juz. Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menulis 300 Kitab dalam berbagai disiplin ilmu yang dimuat dalam 500 Jilid. Muridnya yaitu Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah -rahimahullah- menulis 500 Kitab, Imam Al Baihaqi -rahimahullah- menulis 1.000 Jilid hadits , Imam Abu bakar Ibnul Arabi Al maliki -rahimahullah-  menulis tafsirnya yang besar dalam 80 Juz. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi -rahimahullah- menulis 1.000 lembar hanya membahas satu masalah yaitu apakah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam melaksanakan haji Qiran, Tamattu atau Ifrad ?, kemudian Imam Abdul malik bin Habib -rahimahullah- seorang ulama Andalusia memiliki karangan 1.000 Kitab .” [Lihat : Al Fikrus Sami’ fi Tarikhil Fiqhil Islamy oleh Muhammad Al Hajwi].
___________

Disalin dari sebagian artikel:  Nasehat Bagi Penuntut Ilmu Dari http://al-aisar.com/

0 komentar:

Posting Komentar